PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP MAKANAN RINGAN : PIE
SUSU KADALUWARSA
Oleh :
Ni Made Devi Widayanti*
Ni Luh Gede Astariyani, SH.,MH**
Bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRAK
Karya
ilmiah ini akan membahas mengenai Perlindungan Konsumen Terhadap Penerima Pie
susu Kadaluwarsa. Karya ilmiah ini menggunakan metode analisis normatif dan
pendekatan perundang-undangan. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini
adalah terkait dengan pengaturan mengenai perlindungan konsumen terhadap produk
kadaluwarsa. Kesimpulan dari karya ilmiah ini adalah berdasarkan Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa
Konsumen yang akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan dan Penerima pie susu merupakan Konsumen terakhir karena merupakan
pihak yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya.
Kata Kunci:
Perlindungan Konsumen, Penerima, Kadaluwarsa.
ABSTRACT
This paper will discus the Cunsumer
Preotection entitle “The Protection of The Cunsumer Toward Expired Snack : Milk
Pie. This paper uses normative analisysis method and legal approach. The isues
that used in this paper is related to regulation of consumer protection toward
expired snack. The conclusion of this
paper are based on Indonesian Law 1945
and The Law Number 8 in 1999 on cunsumer protection stated that cunsumer is the
last party that use the product and service to fulfill their needs. Milk pie
receiver or the snack receivers are the cunsumer because they are the last
party to uses or consume the product or service that the party gots, in this
case the product is milk pie snack.
Keywords:
Cunsumer Protection, Reciever,Expired.
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia
sebagai mahluk sosial selalu melakukan hubungan dengan manusia lainnya guna
memenuhi kebutuhan hidup baik yang bersifat materiil maupun immateriil. Salah
satu hubungan yang dilakukan oleh manusia dengan manusia lainnya adalah
kegiatan perdagangan. Kegiatan perdagangan merupakan hal yang sangat penting
dalam perekonomian suatu negara. Dalam
kegiatan perdagangan ini diharapkan dapat menimbulkan keseimbangan antara hak
dan kewajiban antara Pelaku Usaha dengan Konsumen. Pada saat ini, kegiatan
perdagangan tidak dapat dipisahkan dari perlindungan Konsumen. Permasalahan
mengenai perlindungan Konsumen merupakan permasalahan yang selalu menarik untuk
dibahas. Saat ini, semakin banyak pihak Produsen atau Pelaku Usaha yang
menganak tirikan pihak Konsumen, salah satunya adalah dengan kejahatan bisnis
yang sering dilakukan oleh sebagian Pelaku Usaha yang tidak bertanggung jawab
seperti memproduksi, mengedarkan, dan menawarkan produk-produk berbahaya,
khususnya dalam hal merugikan kesehatan Konsumen bahkan menyebabkan nyawa Konsumen
menjadi terancam. Ulah para Pengusaha yang hanya mementingkan profit tanpa
memperhatikan akibat bagi Konsumen tersebut telah menelan banyak korban[1].
Padahal, Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus
diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari[2]. Beberapa contoh seperti masih banyak
ditemukan makanan dan minuman kadaluwarsa yang terdapat dalam pie susu saat
hari raya Galungan. Pie susu yang dijual dalam bentuk kemasan kerap
dimanfaatkan untuk menjual produk yang sudah kadaluwarsa dan Pelaku Usaha tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa dalam produk tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah hakekat Konsumen
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
2.
Apakah Penerima pie susu kadaluwarsa
dapat dikategorikan sebagai Konsumen
1.3 Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan yang akan
dibahas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk memahami hakekat Konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan untuk mengetahui Penerima pie susu
kadaluwarsa dapat dikategorikan sebagai Konsumen atau tidak dapat dikategorikan
sebagai Konsumen.
II.
ISI
MAKALAH
2.1 Metode Penelitian
Dalam penulisan ini,
jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif. Dengan pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Perundang-Undangan (
Statue Approach).[3]
Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah data
skunder berupa bahan hukum primer yaitu Undang-Undang dan bahan hukum skunder
berupa buku-buku hukum.
2.2 Hasil dan Pembahasan
2.2.1 Hakekat Konsumen Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
Istilah Konsumen berasal dari kata consumer
(Inggris-Amerika), atau consument/Konsument
(Belanda). Pengertian tersebut secara harfiah diartikan sebagai “orang atau perusahaan yang membeli barang
tertentu atau menggunakan jasa tertentu atau sesuatu atau seseorang yang
menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”[4].
Amerika Serikat mengemukakan pengertian “Konsumen” yang berasal dari consumer
berarti “pemakai”, namun dapat juga diartikan lebih luas lagi sebagai “korban
pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli
tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum
dapat dinikmati pula oleh korban yang bukan pemakai.[5]
Pengertian Perlindungan Konsumen
menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa,
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.” Rumusan pengertian
perlindungan Konsumen yang terdapat
dalam pasal tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang
yang merugikan Pelaku Usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan Konsumen,
begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi Konsumen[6].
Pengertian Konsumen sendiri adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat baik
kepentingan sendiri untuk digunakan sendiri ataupun orang lain dan tidak untuk
diperdagangkan[7].
Berdasarkan pendapat diatas, maka perlindungan Konsumen adalah jaminan yang
seharusnya didapatkan oleh para Konsumen atas setiap produk bahan makanan yang
dibeli.
Az.
Nasution menegaskan beberapa batasan tentang Konsumen, yakni :
a. Konsumen
adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk
tujuan tertentu;
b. Konsumen
antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ atau jasa untuk
digunakan dengan tujuan membuat barang dan/ atau jasa lain untuk diperdagangkan
(tujuan komersil); bagi Konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang
atau jasa kapital yang berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari
produk lain yang akan diproduksinya (Produsen). Konsumen antara ini mendapatkan
barang atau jasa di pasar industri atau pasar Produsen.
c. Konsumen
akhir adalah setiap orang yang mendapat dan menggunakan barang dan/ atau jasa
untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/ atau rumah
tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial). [8]
Istilah
Konsumen juga dapat kita temukan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
Secara yuridis formal pengertian Konsumen dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, “Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Dari pengertian Konsumen
tersebut, maka dapat kita kemukakan unsur-unsur dari definisi Konsumen[9],
yaitu :
a.
Setiap orang
Subjek
yang disebut sebagai Konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai
pemakai barang dan/ atau jasa. Istilah “orang” disini tidak dibedakan apakah
orang individual yang lazim disebut natuurlijke
person atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon).
Oleh karena itu, yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian Konsumen
sebatas pada orang perseorangan, tetapi Konsumen harus mencakup juga badan
usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.
b.
Pemakai
Kata
“pemakai” dalam bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UU Perlindungan Konsumen
diartikan sebagai Konsumen akhir (ultimate
consumer).
c.
Barang dan/ atau jasa
UU
Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai benda, baik berwujud maupun
tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, benda yang dapat dihabiskan
maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh Konsumen. Sementara itu, jasa diartikan
sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan
bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh Konsumen.
d.
Yang tersedia dalam masyarakat
Barang/
jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Namun,
di era perdagangan sekarang ini syarat mutlak itu tidak lagi dituntut oleh
masyarakat Konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan telah biasa mengadakan transaksi Konsumen
tertentu seperti futures trading
dimana keberadaan barang yang diperjual belikan bukan sesuatu yang diutamakan.
e.
Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
Transaksi Konsumen ditujukan untuk
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain seperti
hewan dan tumbuhan.
f.
Barang dan/ atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.
Pengertian Konsumen dalam UUPK ini
dipertegas, yakni hanya Konsumen akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangganya (keperluan non-komersial). Definisi ini sesuai dengan
pengertian bahwa Konsumen adalah pengguna terakhir, tanpa melihat apakah si Konsumen
adalah pembeli dari barang dan/ atau jasa tersebut[10]. Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari
pakar masalah Konsumen di Belanda, Hondius yang menyimpulkan, Para Ahli hukum
pada umumnya sepakat mengartikan Konsumen sebagai pemakai produksi terakhir
dari benda dan jasa (pengertian Konsumen dalam arti sempit).
Sebagai akhir dari usaha pembentukan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah dengan lahirnya UUPK, yang di
dalamnya dikemukakan pengertian Konsumen, sebagai berikut: “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.” Adapun syarat-syarat Konsumen Menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah[11]:
a.
Pemakai barang dan/atau jasa, baik
memperolehnya melalui pembelian maupun secara cuma-cuma.
b.
Pemakaian barang dan/atau jasa untuk
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.
c.
Tidak untuk diperdagangkan.
Oleh karena itu secara mendasar Konsumen
juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat
lemahnya kedudukan Konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan Produsen
yang relatif lebih kuat dalam banyak hal misalnya dari segi ekonomi maupun
pengetahuan mengingat Produsen lah yang memperoduksi barang sedangkan Konsumen
hanya membeli produk yang telah tersedia dipasaran, maka pembahasan
perlindungan Konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji
ulang serta masalah perlindungan Konsumen ini terjadi di dalam kehidupan
sehari-hari.
Perlindungan terhadap Konsumen dipandang
secara materiil maupun formil makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya
ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi
produktifitas dan efisiensi Produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya
dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua
hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka Konsumenlah yang
pada umumnya merasakan dampaknya.
Dengan demikian upaya-upaya untuk
memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan Konsumen merupakan
suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, terutama di
Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut
perlindungan Konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan
datang guna melindungi hak-hak Konsumen yang sering diabaikan Produsen yang
hanya memikirkan keuntungan semata dan tidak terlepas untuk melindungi Produsen
yang jujur.
Pada era perdagangan bebas dimana arus
barang dan jasa dapat masuk kesemua negara dengan bebas, maka yang seharusnya
terjadi adalah persaingan yang jujur. Persaingan yang jujur adalah suatu
persaingan dimana Konsumen dapat memilih barang atau jasa karena jaminan
kulitas dengan harga yang wajar. Oleh karena itu pola perlindungan Konsumen
perlu diarahkan pada pola kerjasama antar negara, antara semua pihak yang
berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan yang harmonis berdasarkan
atas persaingan jujur. Hal ini sangat penting tidak hanya bagi Konsumen tetapi
bagi Produsen sendiri diantara keduanya dapat memperoleh keuntungan dengan
kesetaraan posisi antara Produsen dan Konsumen, perlindungan terhadap Konsumen
sangat menjadi hal yang sangat penting di berbagai negara bahkan negara maju
misalnya Amerika Serikat yang tercatat sebagai negara yang banyak memberikan
sumbangan dalam masalah perlindungan Konsumen[12].
Hakekatnya, terdapat dua instrumen
hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan Konsumen di
Indonesia, yakni:
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
Sebagai sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan
nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga
mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang
layak dikonsumsi oleh masyarakat.
2.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK)
Lahirnya
Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk
memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang
dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi Konsumen dan tentunya
perlindungan Konsumen tersebut tidak pula merugikan Produsen, namun karena
kedudukan Konsumen yang lemah maka Pemerintah berupaya untuk memberikan
perlindungan melalui peraturan perundang-undanganan yang berlaku, dan
Pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap dilaksanakannya peraturan
perundang-undangan tersebut oleh berbagai pihak yang terkait.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah :
1.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian Konsumen untuk melindungi diri;
- Mengangkat
harkat dan martabat Konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
- Meningkatkan
pemberdayaan Konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya
sebagai Konsumen,
- Menciptakan
sistem perlindungan Konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
- Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan Konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
- Meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan Konsumen.
2.2.2 Penerima pie susu kadaluwarsa
dapat dikategorikan sebagai Konsumen
Istilah
Konsumen, sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mana dalam
Pasal 1 angka 2 ditentukan :
“Konsumen adalah setiap orang,
pemakai barang dan/ atau jasa, yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan
tidak untuk diperdagangkan”.
Sebelum
muncul Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang diberlakukan mulai 20
April 2000, hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang Konsumen dalam
hukum positif di Indonesia. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
ada ditemukan definisi Konsumen yaitu :
“Setiap pemakai dan atau pengguna
barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
orang lain”.
Penerima
pie susu dapat dikategorikan sebagai Konsumen
(consumer). Dengan kata lain, Penerima pie susu tersebut merupakan Konsumen terakhir yang
mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya. Meskipun pie susu tersebut merupakan pemberian dari kerabat dan
bukan hasil dari pembelian secara langsung, si Penerima parcel merupakan Konsumen
terakhir karena merupakan pihak yang mengkonsumsi secara langsung produk yang
diperolehnya. Hal ini juga ditegaskan melalui pengertian Konsumen akhir oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI)
Menurut
BPHN Konsumen terakhir adalah :
“Pemakai akhir dari barang,
digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak
diperjualbelikan”.
Sedangkan,
menurut YLKI Konsumen terakhir adalah :
“Pemakai barang atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau
orang lain dan tidak untuk
diperdagangkan kembali”.
III.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan dan analisa yang telah dipaparkan diatas, dapatlah ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat 2
(dua) instrument hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan Konsumen
di Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pada hakekatnya, Pengertian Konsumen
dalam UUPK adalah pengguna terakhir, tanpa melihat apakah si Konsumen adalah
Pembeli dari suatu barang dan/atau jasa. Hal tersebut berarti bahwa hanya Konsumen
yang akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan.
2.
Mengenai kasus parcel kadaluwarsa, Penerima parcel dapat dikategorikan sebagai Konsumen
karena Penerima parcel tersebut merupakan Konsumen terakhir yang mengkonsumsi
secara langsung produk yang diperolehnya. Meskipun parcel tersebut merupakan
pemberian dari kerabat dan bukan hasil dari pembelian secara langsung, si
Penerima parcel merupakan Konsumen terakhir karena merupakan pihak yang mengkonsumsi
secara langsung produk yang diperolehnya.
3.2 Saran
1.
Bagi Pelaku Usaha
Pelaku Usaha diharapkan agar
mencatumkan tanggal kadaluwarsa dan informasi yang jelas terhadap produk yang
akan dipasarkan terhadap Konsumen dan agar menumbuhkan kesadaran pada diri
sendiri untuk menumbuhkan sikap yang jujur dan bertanggung jawab dan lebih
mengutamakan keselamatan Konsumen daripada hanya mementingkan profit dari hasil
penjualan tetapi membahayakan orang lain.
2. Bagi Konsumen
Konsumen diharapkan agar selalu
berhati-hati dalam menggunakan produk atau barang terutama dalam mengkonsumsi
makanan dan tidak membeli suatu produk jika tidak dicantumkan tanggal
kadaluwarsa dari produk tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Barkatulah, Abdul Halim, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis
dan Perkembangan Pemikiran), Nusa
Media, Bandung.
Miru,
Ahmadi, 2011, Prinsip-Prinsip
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta.
Nasution,
Az, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen,
Diadit Media, Yogjakarta.
Rudy,
Dewa Gede, dkk, 2016, Buku Ajar Hukum
Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Siahaan,
2005, Hukum Perlindungan Konsumen dan
Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta.
Tri Siwi Kristiyanti, Celina, 2009, Hukum
Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.
Jurnal Ilmiah
a. Komang Rina Ayu Laksmiyanti,2016,”
Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Dalam Peredaran Jajanan Anak (Home Industry)
Yang Tidak Terdaftar Dalam Dinas kesehatan”,OJS UNUD, URL: http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=412822,
Kerta Semaya, Vol.4, No.03, h.2.
Peraturan Perundang-Undangan
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
[1]John
Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen,
Pelangi Cendika, Jakarta, h.20
[2]
Komang Rina Ayu Laksmiyanti,2016,” Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Dalam
Peredaran Jajanan Anak (Home Industry) Yang Tidak Terdaftar Dalam Dinas
kesehatan”, OJS Unud, URL: http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=412822,
Kerta Semaya, Vol.4, No.03, h.2, diakses tanggal 01 April 2019
[3]
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian
Hukum, Kencana, Jakarta,hal.97.
[4]
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum
Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, h.41
[5]
Ibid.
[6]
Siahaan, 2005, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei,
Jakarta, h.100
[7]
Ibid.
[8]
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen,
Diadit Media, Yogjakarta, h.13
[9]
Ibid, h.27
[10]
Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum
Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran), Nusa
Media, Bandung, h.8
[11]
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,
Jakarta, h.76
[12] Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, h.33
Comments
Post a Comment
Silahkan tambahkan komentar jika ada yang ingin di ketahui atau diberi tahu