Skip to main content

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP MAKANAN RINGAN : PIE SUSU KADALUWARSA

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP MAKANAN RINGAN : PIE SUSU KADALUWARSA

 

Oleh :

Ni Made Devi Widayanti*

Ni Luh Gede Astariyani, SH.,MH**

 

Bagian Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Udayana

 

ABSTRAK

 

Karya ilmiah ini akan membahas mengenai Perlindungan Konsumen Terhadap Penerima Pie susu Kadaluwarsa. Karya ilmiah ini menggunakan metode analisis normatif dan pendekatan perundang-undangan. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah terkait dengan pengaturan mengenai perlindungan konsumen terhadap produk kadaluwarsa. Kesimpulan dari karya ilmiah ini adalah berdasarkan  Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen  bahwa  Konsumen yang akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan Penerima pie susu merupakan Konsumen terakhir karena merupakan pihak yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya.

Kata Kunci: Perlindungan Konsumen, Penerima, Kadaluwarsa.

 

ABSTRACT

This paper will discus the Cunsumer Preotection entitle “The Protection of The Cunsumer Toward Expired Snack : Milk Pie. This paper uses normative analisysis method and legal approach. The isues that used in this paper is related to regulation of consumer protection toward expired snack. The  conclusion of this paper are based on  Indonesian Law 1945 and The Law Number 8 in 1999 on cunsumer protection stated that cunsumer is the last party that use the product and service to fulfill their needs. Milk pie receiver or the snack receivers are the cunsumer because they are the last party to uses or consume the product or service that the party gots, in this case the product is milk pie snack.

 

 Keywords: Cunsumer Protection, Reciever,Expired.

 

 

 

 

 

 

I.             PENDAHULUAN

1.1               Latar Belakang

      Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai mahluk sosial selalu melakukan hubungan dengan manusia lainnya guna memenuhi kebutuhan hidup baik yang bersifat materiil maupun immateriil. Salah satu hubungan yang dilakukan oleh manusia dengan manusia lainnya adalah kegiatan perdagangan. Kegiatan perdagangan merupakan hal yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara.  Dalam kegiatan perdagangan ini diharapkan dapat menimbulkan keseimbangan antara hak dan kewajiban antara Pelaku Usaha dengan Konsumen. Pada saat ini, kegiatan perdagangan tidak dapat dipisahkan dari perlindungan Konsumen. Permasalahan mengenai perlindungan Konsumen merupakan permasalahan yang selalu menarik untuk dibahas. Saat ini, semakin banyak pihak Produsen atau Pelaku Usaha yang menganak tirikan pihak Konsumen, salah satunya adalah dengan kejahatan bisnis yang sering dilakukan oleh sebagian Pelaku Usaha yang tidak bertanggung jawab seperti memproduksi, mengedarkan, dan menawarkan produk-produk berbahaya, khususnya dalam hal merugikan kesehatan Konsumen bahkan menyebabkan nyawa Konsumen menjadi terancam. Ulah para Pengusaha yang hanya mementingkan profit tanpa memperhatikan akibat bagi Konsumen tersebut telah menelan banyak korban[1]. Padahal, Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam  konsumsi  sehari-hari[2].  Beberapa contoh seperti masih banyak ditemukan makanan dan minuman kadaluwarsa yang terdapat dalam pie susu saat hari raya Galungan. Pie susu yang dijual dalam bentuk kemasan kerap dimanfaatkan untuk menjual produk yang sudah kadaluwarsa dan Pelaku Usaha tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa dalam produk tersebut.

1.2    Rumusan Masalah

1.     Bagaimanakah hakekat Konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

2.     Apakah Penerima pie susu kadaluwarsa dapat dikategorikan sebagai Konsumen

1.3    Tujuan Penulisan

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan  dari penelitian ini adalah untuk memahami hakekat Konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan untuk mengetahui Penerima pie susu kadaluwarsa dapat dikategorikan sebagai Konsumen atau tidak dapat dikategorikan sebagai Konsumen.


 

 

II.           ISI MAKALAH

2.1       Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif. Dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Perundang-Undangan ( Statue Approach).[3] Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah data skunder berupa bahan hukum primer yaitu Undang-Undang dan bahan hukum skunder berupa buku-buku hukum.

 

2.2       Hasil dan Pembahasan

2.2.1  Hakekat Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun        1999 tentang Perlindungan Konsumen

 

          Istilah Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/Konsument (Belanda). Pengertian tersebut secara harfiah diartikan sebagai “orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu atau sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang[4]. Amerika Serikat mengemukakan pengertian “Konsumen” yang berasal dari consumer berarti “pemakai”, namun dapat juga diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula oleh korban yang bukan pemakai.[5]

          Pengertian Perlindungan Konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa, “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.” Rumusan pengertian perlindungan Konsumen  yang terdapat dalam pasal tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan Pelaku Usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan Konsumen, begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi Konsumen[6].

          Pengertian Konsumen sendiri adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat baik kepentingan sendiri untuk digunakan sendiri ataupun orang lain dan tidak untuk diperdagangkan[7]. Berdasarkan pendapat diatas, maka perlindungan Konsumen adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para Konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli.

Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang Konsumen, yakni :

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu;

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/ atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/ atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersil); bagi Konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital yang berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya (Produsen). Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa di pasar industri atau pasar Produsen.

c. Konsumen akhir adalah setiap orang yang mendapat dan menggunakan barang dan/ atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/ atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial). [8]

Istilah Konsumen juga dapat kita temukan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Secara yuridis formal pengertian Konsumen dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Dari pengertian Konsumen tersebut, maka dapat kita kemukakan unsur-unsur dari definisi Konsumen[9], yaitu :

a. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai Konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/ atau jasa. Istilah “orang” disini tidak dibedakan apakah orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu, yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian Konsumen sebatas pada orang perseorangan, tetapi Konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

b. Pemakai

Kata “pemakai” dalam bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UU Perlindungan Konsumen diartikan sebagai Konsumen akhir (ultimate consumer).

c. Barang dan/ atau jasa

UU Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, benda yang dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh Konsumen. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh Konsumen.

d. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang/ jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Namun, di era perdagangan sekarang ini syarat mutlak itu tidak lagi dituntut oleh masyarakat Konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan telah biasa mengadakan transaksi Konsumen tertentu seperti futures trading dimana keberadaan barang yang diperjual belikan bukan sesuatu yang diutamakan.

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain

          Transaksi Konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan.

f. Barang dan/ atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.    

          Pengertian Konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya Konsumen akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya (keperluan non-komersial). Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa Konsumen adalah pengguna terakhir, tanpa melihat apakah si Konsumen adalah pembeli dari barang dan/ atau jasa tersebut[10].  Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari pakar masalah Konsumen di Belanda, Hondius yang menyimpulkan, Para Ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan Konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (pengertian Konsumen dalam arti sempit).

          Sebagai akhir dari usaha pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah dengan lahirnya UUPK, yang di dalamnya dikemukakan pengertian Konsumen, sebagai berikut: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Adapun syarat-syarat Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah[11]

a.     Pemakai barang dan/atau jasa, baik memperolehnya melalui pembelian maupun secara cuma-cuma.

b.     Pemakaian barang dan/atau jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.

c.     Tidak untuk diperdagangkan.    

          Oleh karena itu secara mendasar Konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan Konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan Produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal misalnya dari segi ekonomi maupun pengetahuan mengingat Produsen lah yang memperoduksi barang sedangkan Konsumen hanya membeli produk yang telah tersedia dipasaran, maka pembahasan perlindungan Konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji ulang serta masalah perlindungan Konsumen ini terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.

          Perlindungan terhadap Konsumen dipandang secara materiil maupun formil makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi Produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka Konsumenlah yang pada umumnya merasakan dampaknya.

          Dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan Konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan Konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang guna melindungi hak-hak Konsumen yang sering diabaikan Produsen yang hanya memikirkan keuntungan semata dan tidak terlepas untuk melindungi Produsen yang jujur.

          Pada era perdagangan bebas dimana arus barang dan jasa dapat masuk kesemua negara dengan bebas, maka yang seharusnya terjadi adalah persaingan yang jujur. Persaingan yang jujur adalah suatu persaingan dimana Konsumen dapat memilih barang atau jasa karena jaminan kulitas dengan harga yang wajar. Oleh karena itu pola perlindungan Konsumen perlu diarahkan pada pola kerjasama antar negara, antara semua pihak yang berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan yang harmonis berdasarkan atas persaingan jujur. Hal ini sangat penting tidak hanya bagi Konsumen tetapi bagi Produsen sendiri diantara keduanya dapat memperoleh keuntungan dengan kesetaraan posisi antara Produsen dan Konsumen, perlindungan terhadap Konsumen sangat menjadi hal yang sangat penting di berbagai negara bahkan negara maju misalnya Amerika Serikat yang tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan Konsumen[12]

          Hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan Konsumen di Indonesia, yakni:

1.     Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)

Sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.

2.     Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi Konsumen dan tentunya perlindungan Konsumen tersebut tidak pula merugikan Produsen, namun karena kedudukan Konsumen yang lemah maka Pemerintah berupaya untuk memberikan perlindungan melalui peraturan perundang-undanganan yang berlaku, dan Pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap dilaksanakannya peraturan perundang-undangan tersebut oleh berbagai pihak yang terkait.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah :

1.   Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian Konsumen untuk melindungi diri;

  1. Mengangkat harkat dan martabat Konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
  2. Meningkatkan pemberdayaan Konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai Konsumen,
  3. Menciptakan sistem perlindungan Konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
  4. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan Konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
  5. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan Konsumen.

 

2.2.2  Penerima pie susu kadaluwarsa dapat dikategorikan sebagai Konsumen

Istilah Konsumen, sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mana dalam Pasal 1 angka 2 ditentukan :

“Konsumen adalah setiap orang, pemakai barang dan/ atau jasa, yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan”.

Sebelum muncul Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang diberlakukan mulai 20 April 2000, hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang Konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ada ditemukan definisi Konsumen yaitu :

“Setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain”.

Penerima pie susu  dapat dikategorikan sebagai Konsumen (consumer).  Dengan kata lain, Penerima pie susu  tersebut merupakan Konsumen terakhir yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya. Meskipun pie susu  tersebut merupakan pemberian dari kerabat dan bukan hasil dari pembelian secara langsung, si Penerima parcel merupakan Konsumen terakhir karena merupakan pihak yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya. Hal ini juga ditegaskan melalui pengertian Konsumen akhir oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI)

Menurut BPHN Konsumen terakhir adalah :

“Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak diperjualbelikan”.

 

Sedangkan, menurut YLKI Konsumen terakhir adalah :

“Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain  dan tidak untuk diperdagangkan kembali”.

 

III.         PENUTUP

3.1    Kesimpulan

Dari pembahasan dan analisa yang telah dipaparkan diatas, dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat 2 (dua) instrument hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan Konsumen di Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pada hakekatnya, Pengertian Konsumen dalam UUPK adalah pengguna terakhir, tanpa melihat apakah si Konsumen adalah Pembeli dari suatu barang dan/atau jasa. Hal tersebut berarti bahwa hanya Konsumen yang akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan. 

2. Mengenai kasus parcel kadaluwarsa, Penerima parcel dapat dikategorikan sebagai Konsumen karena Penerima parcel tersebut merupakan Konsumen terakhir yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya. Meskipun parcel tersebut merupakan pemberian dari kerabat dan bukan hasil dari pembelian secara langsung, si Penerima parcel merupakan Konsumen terakhir karena merupakan pihak yang mengkonsumsi secara langsung produk yang diperolehnya.

3.2    Saran

1. Bagi Pelaku Usaha

Pelaku Usaha diharapkan agar mencatumkan tanggal kadaluwarsa dan informasi yang jelas terhadap produk yang akan dipasarkan terhadap Konsumen dan agar menumbuhkan kesadaran pada diri sendiri untuk menumbuhkan sikap yang jujur dan bertanggung jawab dan lebih mengutamakan keselamatan Konsumen daripada hanya mementingkan profit dari hasil penjualan tetapi membahayakan orang lain.

      2. Bagi Konsumen

          Konsumen diharapkan agar selalu berhati-hati dalam menggunakan produk atau barang terutama dalam mengkonsumsi makanan dan tidak membeli suatu produk jika tidak dicantumkan tanggal kadaluwarsa dari produk tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

 

Buku

 Barkatulah, Abdul Halim, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan  Perkembangan Pemikiran), Nusa Media, Bandung.

Miru, Ahmadi, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Grafindo Persada, Jakarta.

Nasution, Az, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Yogjakarta.

Rudy, Dewa Gede, dkk, 2016, Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.

Siahaan, 2005, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta.

 Tri Siwi Kristiyanti, Celina,  2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.

Jurnal Ilmiah

a.    Komang Rina Ayu Laksmiyanti,2016,” Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Dalam Peredaran Jajanan Anak (Home Industry) Yang Tidak Terdaftar Dalam Dinas kesehatan”,OJS UNUD, URL: http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=412822, Kerta Semaya, Vol.4, No.03, h.2.

 

Peraturan Perundang-Undangan

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


 



[1]John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007,  Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen, Pelangi Cendika, Jakarta, h.20

[2] Komang Rina Ayu Laksmiyanti,2016,” Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Dalam Peredaran Jajanan Anak (Home Industry) Yang Tidak Terdaftar Dalam Dinas kesehatan”, OJS Unud, URL: http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=412822, Kerta Semaya, Vol.4, No.03, h.2, diakses tanggal 01 April 2019

[3] Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta,hal.97.

[4] Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, h.41

[5] Ibid.

[6] Siahaan, 2005,  Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta, h.100

[7] Ibid.

[8] Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Yogjakarta, h.13

[9] Ibid, h.27

[10] Abdul Halim Barkatulah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran), Nusa Media, Bandung, h.8

[11] Shidarta, 2000,  Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,  Grasindo,  Jakarta, h.76

[12] Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati,  2000,  Hukum Perlindungan Konsumen,  Mandar Maju, Bandung, h.33 

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN RESTAURANT

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN MAN MARU JAPANESE RESTAURANT FOOD AND BEVERAGE SERVICE DEPARTMENT Royal Bali Hotel and cruise ship training centre Jl. Pasekan 90X Batuyang kangin, Gianyar www.hospitality.royalbalitraining.id DISUSUN OLEH : Nama                      : Ni Putu Ayu Ratih Pratiwi NIM                        : 2016.07.2.FB/3.04 Angkatan                : III/2016 - 2017 Jenjang                   : Okupasi Waitress Level III / Basic Level                  ...

Makalah tentang MOKSHA

BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Bersatunya Atman dengan Brahman tercapailah keadaan Sat cit ananda, yaitu kebahagiaan yang abadi, k ondisi seperti inilah yang disebut dengan nama moksa. Moksa merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari Panca Srad dha. Umat Hindu meyakini bahwa moksa merupakan pokok keimanan. Bagi umat Hindu kata moksa sering disamakan artinya dengan kata mukti atau kelepasan. Moksa merupakan tujuan yang tertinggi bagi umat Hindu. Dengan mempedomani diri dan mengamalkan cinta kasih serta ketidak terikatan secara berkesinambungan seseorang dapat mencapai moksa. Kata moksa mudah diucapkan namun sulit dapat diwujudkan dalam hidup dan kehidupan ini. Betapapun sulitnya hal itu dapat kita wujudkan, bila diupayakan dengan niat suci, sungguh-sungguh dan berlandaskan kitab suci. Dengan demikian sesulit apapun sesuatu yang ingin kita capai tentu dapat diwujudkan dengan sempurna. Moksa adalah salah satu sraddha dalam agama Hindu. Ha...

artikel : PEMBUATAN KRIPIK BAYAM

  LAPORAN PEMBUATAN KRIPIK BAYAM   KATA PENGANTAR Puji syukut kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga laporan ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang yang telah berkontribusi den ga n memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.   Dan harapan kami semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi laporan agar menjadi lebih baik lagi.   Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan ini.     BAB 1 PENDAHULUAN   1.1 LATAR BELAKANG Keripik merupakan makanan ringan atau camilan berupa irisan tipis yang sangat populer di kalangan masyarakat karena sifatnya yang renyah, gu...