Skip to main content

Makalah tentang MOKSHA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Bersatunya Atman dengan Brahman tercapailah keadaan Sat cit ananda, yaitu kebahagiaan yang abadi, kondisi seperti inilah yang disebut dengan nama moksa. Moksa merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari Panca Sraddha. Umat Hindu meyakini bahwa moksa merupakan pokok keimanan. Bagi umat Hindu kata moksa sering disamakan artinya dengan kata mukti atau kelepasan. Moksa merupakan tujuan yang tertinggi bagi umat Hindu. Dengan mempedomani diri dan mengamalkan cinta kasih serta ketidak terikatan secara berkesinambungan seseorang dapat mencapai moksa. Kata moksa mudah diucapkan namun sulit dapat diwujudkan dalam hidup dan kehidupan ini. Betapapun sulitnya hal itu dapat kita wujudkan, bila diupayakan dengan niat suci, sungguh-sungguh dan berlandaskan kitab suci. Dengan demikian sesulit apapun sesuatu yang ingin kita capai tentu dapat diwujudkan dengan sempurna.
Moksa adalah salah satu sraddha dalam agama Hindu. Hal ini merupakan tujuan hidup tertinggi dari umat Hindu. Kebahagiaan yang sejati ini baru akan dapat tercapai oleh seseorang bila ia telah dapat menyatukan jiwanya dengan Tuhan. Penyatuan dengan Tuhan itu baru akan didapat bila ia telah melepaskan semua bentuk ikatan keduniawian pada dirinya.  Agama mengajarkan banyak usaha yang dapat ditempuh untuk mewujudkan moksa. Tingkatan – tingkatan yang ada didalam Moksa dapat dibagi menjadi Jiwamukti, Widehamukti dan Purnamukti yang dibagi kembali menjadi Samipya, Sarupya, Salokya, dan Sayujya. Tingkatan ini ada dimana orang mendapatkannya dengan karmanya yang ada di dunia. Agar memperoleh tingkatan moksa yang baik, maka kita harus mempunyai karma yang baik , bisa ditempuh dengan Astangga Yoga yang bagiannya Yama, Nyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan Samadhi. Agar lebih terpusat dan memusatkan pikirian kepada Sang Hyang Widhi, ada cara yang ditempuh yaitu Catur Marga Yoga.
Manusia yang lahir dan hidup di dunia ini memiliki tujuan, yang disebut dengan istilah tujuan hidup manusia. Manusia tidak sekedar dilahirkan dan setelah lahir dibiarkan begitu saja. Manusia dilahirkan, dipelihara, dibesarkan, dan dididik dalam lingkungan yang berbeda-beda. Pengalaman yang didapat dari pengaruh lingkungan sekitar manusia hidup dapat mengembangkan sikap mental dan cita-citanya. Sifat-sifat pribadi manusia, kemampuan dan kecenderungan, agama yang dianutnya, kebiasaan, ideologi dan politik bangsa, memberikan pengaruh besar terhadap tingkah laku manusia dalam mewujudkan tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia di dalam Agama Hindu disebut “ Catur Purusartha”. “Catur” berarti empat “Purusha” berarti manusia, utama, dan “artha” berarti tujuan. Catur Purusartha berarti empat tujuan hidup manusia yang utama.
Setiap orang yang menyatakan diri sebagai umat Hindu berkewajiban untuk mengamalkan ajaran agamanya. Kewajiban mengamalkan ajaran agama seperti ini telah dilaksanakan secara turun-temurun sejak nenek moyang ada. Kebiasaan nenek moyang diwarisi oleh generasi ke generasi berikutnya. Kebenaran dari keyakinannya beragama seperti itu dipandang memberikan manfaat positif bagi keselamatan dan kelangsungan hidupnya. Untuk dapat mencapai moksa, seseorang harus memahami, mempedomani, dan mematuhi persyaratan-persyarata proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma-norma ajaran Agama Hindu.
1.2    Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan Moksa?
2.    Bagaimana cara jalan menuju Moksa?
3.    Bagaimana bentuk penerapan ajaran astangga yoga dalam mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu?
4.    Bagaimana tantangan dan hambatan dalam jalan mencapai moksa sesuai zamannya “globalisasi”?
5.    Bagaimana upaya – upaya dalam mengatasi hambatan dan tantangan untuk mencapai moksa menurut zamannya “globalisasi”?
6.    Siapa saja orang yang dipandang mampu mencapai moksa?
1.3    Tujuan
1.      Agar siswa mengetahui apa yang dimaksud dengan Moksa
2.      Agar siswa mengetahui cara jalan menuju Moksa
3.      Agar siswa mengetahui bentuk penerapan ajaran astangga yoga dalam mewujudkan tujuan hidup manusia dan tujuan agama Hindu
4.      Agar Siswa mengetahui tantangan dan hambatan dalam jalan mencapai moksa sesuai zamannya “globalisasi”
5.      Agar Siswa mengetahui upaya – upaya dalam mengatasi hambatan dan tantangan untuk mencapai moksa menurut zamannya “globalisasi”
6.      Agar siswa mengetahui siapa saja yang dipandang mampu mencapai moksa

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Moksa
Moksa berasal dari bahasa Sanskerta. Moksa dari akar kata muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. Jadi Moksa adalah kepercayaan tentang adanya kebebasan yaitu bersatunya antara atman dengan brahman.  Dari pemahaman istilah, kata moksa dapat disamakan dengan nirwana, nisreyasa atau keparamarthan yang merupakan brahman yang sangat gaib dan berada di luar pikiran manusia, sehingga Moksa dapat disamakan dengan Nirguna Brahman. Bahasa manusia tidak dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya alam mokûa itu. Moksa hanya dapat dirasakan oleh orang yang dapat mencapainya. Moksa dapat juga disebut dengan Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagian rohani yang langgeng. Bila seseorang sudah mengalami moksa dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma dan bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi) serta dapat mengalami atau mewujudkan Sat, Cit, Ananda (Kebenaran, Kesadaran, Kebahagian).
Adapun yang dimaksud dengan kebebasan dalam pengertian moksa ialah terlepasnya atman dari ikatan maya, sehingga menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat cit ananda. Sat cit ananda berarti kebahagiaan yang tertinggi. Setiap orang pada hakikatnya dapat mencapai moksa, asalkan mengikuti dengan petunjuk agama. Moksa itu dapat dicapai di dunia maupun dapat pula dicapai setelah hidup ini berakhir. Seseorang yang menyadari hal itu, akan berupaya menumbuh-kembangkan usaha untuk melepaskan diri yang sejati dari keterikatan. Usaha melepaskan diri secara sadar inilah yang dapat mengantarkan manusia menuju moksa.

A.  Tingkatan Moksa
Duhkheûwanudwignamanāá
sukheûu wigataspåhaá,
wītaçokabha-yakrodhah
sthiradhīrmunirucyate.
Sang kinahananing kaprajñān ngaranira, tan alara yan panemu duhkha, tan agirang yan panemu sukha, tātan kataman krodha, mwang takut, prihati, langgeng mahning juga tuturnira, apan majñāna, muni wi ngaraning majñāna.
Terjemahan:
Orang yang disebut mendapatkan kebijaksanaan, tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati, jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang juga pikiran dan tutur katanya, karena berilmu, budi mulia pula disebut orang yang bijaksana (Sarasamuscaya, 505).
Dari sloka diatas dinyatakan ada beberapa tingkatan ”moksa” yang diajarkan dalam ajaran agama Hindu. Ajaran ini didasarkan pada keadaan ”atma” dalam hubungannya dengan Brahman. Adapun bagian-bagiannya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Jiwamukti
Jiwamukti adalah tingkatan moksa atau kebahagiaan/kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya tidak lagi terpengaruh oleh gejolak indria dan maya. Istilah ini dapat pula disamakan maksudnya dengan samipya dan sarupya.
2.     Widehamukti
Widehamukti adalah tingkat kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya telah meninggalkan badan wadagnya (jasadnya), tetapi roh yang bersangkutan masih kena pengaruh maya yang tipis. Tingkat keberadaan atma pada dalam posisi ini adalah setara dengan Brahman, namun belum dapat menyatu dengan-Nya, sebagai akibat dari pengaruh maya yang masih ada. Widehamukti dapat disejajarkan dengan salokya.
3.    Purnamukti
Purnamukti adalah tingkat kebebasan yang paling sempurna. Pada tingkatan ini posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dengan Brahman. Setiap orang akan dapat mencapai posisi ini, apabila yang bersangkutan sungguh-sungguh dengan kesadaran dan hati yang suci mau dan mampu melepaskan diri dari keterikatan maya ini. Istilah Purnamukti dapat disamakan dengan sayujya.
Secara lebih rinci sesuai uraian di atas tentang keberadaan tingkatan-tingkatan moksa dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa macam tingkatan. Moksa dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu: Samipya, Sarupya (Sadarmya), Salokya, dan Sayujya. Adapun penjelasan keempat bagian ini dapat dipaparkan  sebagai berikut :


1.    Samipya
Adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini. Hal ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan oleh para Maharsi. Beliau dalam melakukan Yoga Samadhi telah dapat melepaskan unsur-unsur maya, sehingga beliau dapat mendengar wahyu Tuhan. Dalam keadaan yang demikian itu atman berada sangat dekat dengan Tuhan. Setelah beliau selesai melakukan samadhi, maka keadaan beliau kembali sebagai biasa, di mana emosi, pikiran, dan organ jasmaninya aktif kembali.
2.    Sarupya (Sadharmya)
Adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia ini, karena kelahirannya, di mana kedudukan Atman merupakan pancaran dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama dan Buddha dan Sri Kresna. Walaupun Atman telah mengambil suatu perwujudan tertentu, namun ia tidak terikat oleh segala sesuatu yang ada di dunia ini.
3.    Salokya
Adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh Atman, di mana Atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti itu dapat dikatakan baliau Atman telah mencapai tingkatan Dewa yang merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri.
4.    Sayujya
Adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi di mana Atman telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Esa. Dalam keadaan seperti inilah sebutan Brahman Atman Aikyam yang artinya Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal.
Dalam hubungan untuk mewujudkan suatu kebebasan dalam hidup ini sangat baik kita merenungkan dan mengamalkan sloka berikut:
Sribhagavàn uvàcha: Akasaraý
brahman paramaý svabhàvo
‘dhyàtmam uchyate,
bhùta-bhàvodbhava-karo visargaá
karma-samjnitaá.
Terjemahan:
Sri Bhagawan Bersabda: Brahman (Tuhan) adalah yang kekal, yang Maha tinggi dan adanya di dalam tiap-tiap badan perseorangan disebut Adhyatman. Karma adalah nama yang diberikan kepada kekuatan cipta yang menjadikan makhluk hidup (Bhagawadgita VIII. 3).

Mengenai kebahagiaan atau kebebasan abadi yang harus diupayakan dalam hidup dan kehidupan ini, kitab suci Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut:
Mātāpitåsahasrāni putradāra
çatani ca,
yuge yuge wyatītāni kasya te kasya wā wayam.
Anādi ketang janma ngaranya, tan kinawruhan tembenya, luput kinalakaran, wilangning janmāntara, mewwiwut pwa bapanta, ibunta, anakta, rabinta, ring sayugasyuga, paramārthanya, ndyang enak katepetana sānu lawan ika, ndyang tuduhan anunta.
Terjemahan:
Tidak diketahui hubungan penjelmaan manusia itu pada permulaannya, tidak dapat diperkirakan akan banyaknya penjelmaan yang lain, beribu-ribu bapa, ibu, anak dan istri pada tiap-tiap yuga; pada hakikatnya, siapakah yang sebenarnya dapat mengatakan dengan tepat keturunan mereka itu, dan yang mana dapatditunjuk seketurunan dengan engkau sendiri? (Sarasamuscaya, 486)

Nāyamatyantasamwāmsah
kadācit kenacit saha,
api swena marīrena
kimutānyena kenacit.
Tātan hana teka nitya patemunya ngaranya, ikang patemu ika, ikang tan temu ika, kapwa tan langgeng ika, patemunta lawan iking çariranta tuwi, tan langgeng ika, mapasaha mara don iking paneoadadi, haywa tinucap ikang len.
Terjemahan:
Tidak ada yang kekal yang dinamakan pertemuan itu, yang bertemu satu dengan yang lain; yang tidak bertemu satu dengan yang lain, semuanya itu tidak kekal, bahkan hubunganmu dengan badanmu sendiripun tidak kekal, pasti akan berpisah dari badan; tangan, kaki, dan lain-lain bagian tubuh itu, jangan dikatakan dengan yang lain-lainnya (Sarasamuscaya, 487).

Ādarçanādāpatitāh punaçcā
darçanam gatāh,
na te tawa na tesām
twam kā tatra pari Devanā.
Keta sakeng taya marika, muwah, ta ya mulih ring taya, sangksipta tan akunta ika, ika tan sapa lawan kita, an mangkana, apa tojara, apa polaha.
Terjemahan:
Katanya mereka datang dari Taya (kenyataan yang tidak nyata), dan kemudian kembalinya lagi ke Taya, singkatnya, bukan kepunyaanku itu, itu tidak ada hubungannya dengan engkau, jika demikian halnya, apa yang akan dikatakan dan apa yang akan dikerjakan (Sarasamuscaya, 488).

Naste dhane wā dāresu putre pitari mātari,
aho kastamiti dhyātwā
duhkhasyāpacitin caret.
Hilang pwa mās, māti pwang anak, rabi, bapa, ibu, ikāna telas paratra, atiçaya ta göng nikang lara, mwang dukkhaning hati enget pwa kitan mangkana, gawahenta tikang tambāning duhkha.
Terjemahan:
Kekayaan akan habis, anak akan mati, istri, ayah, dan ibu, mereka itu semuanya telah meninggal, maka sangat menyedihkan dan memilukan hati, bila engkau sadar akan keadaan demikian, perbuatanmu itu merupakan obat pelipur duka (Sarasamuscaya, 489).

Mānasam çamayet tasmāt prajñāya,
gnimiwābhasa, praçānte mānase hyasya
çārīramupaçāmyati.
Matangnya duhkhaning manah, prihen pademen ring kaprajñān, apan niyata juga hilang dening kaprajñān, kadyangganing apuy dumilah, niyata padem nika dening wwai, padem pwa duhkhaning manah, padem ta laranikang çarīra.
Terjemahan:
Karena itu penderitaan pikiran hendaklah diusahakan untuk dimusnahkan dengan kebijaksanaan, sebab tentunya lenyap oleh kebijaksanaan, seperti misalnya api yang menyala, pasti padam oleh air, jika telah musnah penderitaan pikiran, maka lenyaplah pula sakitnya badan (Sarasamuscaya, 503).

Wījāyagnyupadagdhāni na rohanti
yathā punah, jñānadagdhaistathā
kleçairnātmā sampadyate punah.
Kunang paramārthanya, hilang ikang kleçaning awak, an pinanasan ring jñāna, hilang pwang kleça, ri katemwaning samyagjñāna, hilang tang janma, mari punarbhawa, kadyangganing wīja, pinanasan sinanga, hilang tuwuh nika, mari masewö.
Terjemahan:
Adapun maknanya yang terpenting kecemaran badan akan lenyap, jika dilebur dengan latihan-latihan ilmu pengetahuan, jika hilang musnah kotoran badan itu, karena telah diperoleh pengetahuan yang sejati, maka terhapuslah kelahiran, tidak menjelma lagi sebagai misalnya biji benihan yang dipanaskan, dipanggang, hilang daya tumbuhnya, tidak tumbuh lagi (Sarasamuscaya,510)

2.2  Jalan Menuju Moksa
Tujuan terakhir dan tertinggi yang ingin dicapai oleh umat Hindu adalah Moksa. Berbagai macam cara/jalan dapat dilakukan oleh umat bersangkutan, guna mewujudkan tujuan utamanya ini, termasuk sembahyang. Dengan menjalankan  sembahyang,  bathin  seseorang  menjadi  tenang,  dengan Dharana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta) dan Samadhi (mengheningkan cita), manusia berangsur-angsur dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi. Ia adalah bebas dari segala ikatan keduniawian. Guna mencapai penyatuan Atman dengan Brahman, renungkan, pedomani, dan amalkanlah dalam kehidupan sehari-hari sloka berikut ini
Bahùnàý janmanàm ante
jnànavàn màm prapadyate
vàsudevaá sarvam iti
sa mahàtmà su-durlabhaá

Terjemahan:
Orang yang bijaksana akan datang kepada-Ku, pada akhir dari banyak kelahiran karena mengetahui bahwa Vasudeva (Tuhan) adalah segalanya ini; sukar mendapatkan orang seperti itu (Bhagavadgita VII. 19)
Mendapatkan seseorang berjiwa besar seperti itu adalah sukar mencarinya. Banyak makhluk akan keluar/lahir dan mati, serta hidup kembali tanpa kemampuannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada masa dan waktu pada saatnya semua makhluk menjadi binasa (pralina). Yang tak tampak dan kekal itulah harus menjadi tujuannya yang utama, supaya tidak mengalami penjelmaan ke dunia. Itulah tempat-Ku yang tertinggi, oleh karenanya haruslah berusaha demi Aku. Jika engkau selalu ingat kepada-Ku, tak usah disangsikan engkau akan kembali kepada-Ku. Untuk mencapai ini orang harus selalu bergulat, berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya. Kitab suci Veda telah menyediakan dan memfasilitasi bagaimana caranya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan maya sehingga akhirnya atman dapat bersatu dengan Brahman. Dengan demikian penderitaan dapat dikikis habis dan mahkluk hidup yang menderita itu tidak lagi menjelma ke dunia, sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia. Di dalam ajaran Agama Hindu terdapat berbagai macam jalan yang dapat dilalui untuk mencapai kesempurnaan “Moksa”, dengan menghubungkan diri dan memusatkan pikiran kepada Ida Hyang Widhi Wasa. Cara atau jalan yang demikian itu telah terbiasa disebut dengan nama “Catur Marga Yoga”, terdiri dari:
1.    Bhakti Marga Yoga
Bhakti Marga Yoga adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan Brahman, berlandaskan rasa dan cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata “bhakti” berarti hormat, taat, sujud, menyembah, persembahan, kasih. Bhakti Marga Yoga berarti : jalan cinta kasih, jalan persembahan. Seorang Bhakta (orang yang menjalani Bhakti Marga) dengan sujud dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai yajna kepada Sang Hyang Widhi.
Cinta kasih yang mendalam adalah suatu cinta kasih yang bersifat umum dan mendalam yang disebut maitri. Semangat Tat Twam Asi sangat subur dalam hati sanubarinya. Sehingga seluruh dirinya penuh dengan rasa cinta kasih dan kasih sayang tanpa batas, sedikitpun tidak ada yang terselip dalam dirinya sifat-sifat negatif seperti kebencian, kekejaman, iri dengki dan kegelisahan atau keresahan. Cinta baktinya kepada Hyang Widhi yang sangat mendalam, itu juga dipancarkan kepada semua makhluk baik manusia maupun binatang. Tatkala memanjatkan doa, umat selalu menggunakan pernyataan cinta dan kasih sayang dan memohon kepada Hyang Widhi agar semua makhluk tanpa kecuali selalu berbahagia dan selalu mendapat berkah termulia dari Hyang Widhi. Jadi untuk lebih jelasnya seorang bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk. Sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan mengembangkan sifat-sifat Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa (Catur Paramita). Ia selalu berusaha membebaskan dirinya dari belenggu keakuan (ahamkara).
2.    Karma Marga Yoga
Karma  Marga Yoga  adalah  jalan  atau  usaha  untuk  mencapai kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan, bekerja tanpa terikat oleh hasil atau kebajikan tanpa pamrih. Hal yang paling utama dari karma yoga ialah melepaskan semua hasil dari segala perbuatan.  Dalam  Bhagavadgita  tentang Karma yoga dinyatakan sebagai berikut :
Tasmād asaktaásatataý
kāryaý karma samācara,
asakto hy ācaran karma
param āpnoti purusaá.
Terjemahan:
Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama (Bhagawadgita III.19)
Pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dinyatakan lebih baik dilakukan dalam semangat pengorbanan, dari pada kegiatan kerja yang masih tetap melakukan kegiatan kerja sebagai kegiatan yang muncul dengan sendirinya. Yogavāsistha menyataka mengharapkan sesuatupun yang harus dicapai, baik dengan melakukan kerja maupun tidak. Oleh karena itu ia melaksanakan kegiatan kerja tanpa keterikatan apapun. Bagi seorang karma, penyerahan hasil pekerjaan kepada Tuhan bukan berarti kehilangan, bahkan akan datang berlipat ganda. Hal ini merupakan rahasia spiritual yang sulit dimengerti, mendapatkan sesuatu yang diperlukan secara mengagumkan dan membahagiakan dirinya. Berkaitan dengan karma renungkanlah cerita berikut :
Pada suatu hari Dewi Laksmi mengadakan sayembara, di mana beliau akan memilih suami. Semua Dewa dan para Danawa datang berduyun-duyun dengan harapan yang membumbung tinggi. Dewi Laksmi belum mengumumkan janjinya, kemudian datanglah beliau di hadapan pelamarnya dan berkata demikian; saya akan mengalungkan bunga kepada pria yang tidak menginginkan diri saya. Tetapi mereka yang datang itu semua lobha, maka mulailah Dewi Laksmi mencari orang yang tiada berkeinginan untuk dikalungi. Terlihatlah oleh Dewi Laksmi wujudnya Dewa Wisnu dengan tenangnya di atas ular Sesa yang sedang melingkar. Kalung perkawinan kemudian diletakkan di lehernya dan sampai kinilah dapat kita lihat simbolis Dewi Laksmi berada di samping kaki Dewa Wisnu. Dewi Laksmi datang pada orang yang tidak mengidam-idamkan dirinya, inilah suatu keajaiban.
Dari cerita di atas dapat dikemukakan bahwa orang yang selalu asyik dalam pikirannya menginginkan buah dari kerjanya, akan kehilangan buah itu yang sebenarnya adalah miliknya, tetapi bagi karma yogin walaupun ia berbuat sedikit, tetapi tanpa pamrih, ia akan mendapatkan hasil yang tidak ternilai. Kesusahan orang duniawi akan mendapat hasil yang sedikit, karena terikat. Sedangkan bagi karma yogin sebaliknya. Maka dari itu ajaran suci selalu menyarankan kepada umatnya agar menjadi seorang karma yogi yang selalu mendambakan pedoman rame ing gawe sepi ing pamrih. Pada hakikatnya seorang karma yogi dengan menyerahkan keinginan akan pahala, ia akan menerima pahala yang berlipat ganda. Hidupnya akan berlangsung dengan tenang dan ia akan memancarkan sinar dari tubuhnya maupun dari pikirannya. Bahkan masyarakat tempatnya hidup pun akan menjadi bahagia, sejahtera dan suci, ia akan mencapai kesucian batin dan kebijaksanaan.Masyarakat yang telah suci jasmani dan rohaninya akan menjauhkan diri dari sifat-sifat munafik dan dapat dicapai oleh penduduk masyarakat itu. Semua ini telah terbukti dalam pengalaman dari kebebasan jiwa seorang karma yogi.
3.    Jnana Marga Yoga
Jnana Marga Yoga adalah cara yang ke tiga setelah Karma Marga Yoga untuk menyatukan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahu Yuj artinya menghubungkan diri. Jadi Jnana Yoga artinya mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan. Tiada ikatan yang lebih kuat dari pada maya, dan tiada kekuatan yang lebih ampuh dari pada yoga untuk membasmi ikatan-ikatan maya itu. Untuk melepaskan ikatan-ikatan ini haruslah kita mengarahkan segala pikiran kita, memaksanya kepada kebiasaan-kebiasaan suci, akan tetapi bila kita ingin memberi suatu bentuk kebiasaan suci pada pikiran kita, akhirnya pikiran pun menerimanya, sebaliknya bila pikiran tidak mau menerimanya maka haruslah kita akui bahwa segala pendidikan yang kita ingin biasakan itu tidak ada gunanya.
Proses tumbuh dan berkembangnya pikiran ke arah kebaikan merupakan hal yang mutlak patut dilakukan. Sebagai jalan pertumbuhannya pikiran, perbuatan lahir, pelaksanaan swadharma dan sikap bathin (wikarma) sangat diperlukan di mana perbuatan lahir adalah penting, karena jika tidak berbuat maka pikiran kita tidak dapat diuji kebenarannya. Perbuatan lahir menunjukkan kualitas sebenarnya dari pada pikiran kita. Ada tiga hal yang penting dalam hal ini yaitu kebulatan pikiran, pembatasan pada kehidupan sendiri dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh tenteram damai. Ketiga hal tersebut di atas merupakan dhyana yoga. Untuk tercapainya perlu dibantu dengan abhyasa yaitu latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan tidak mengaktifkan diri. Adapun kekuatan pikiran kita lakukan di dalam hal kita berbuat apa saja, pikiran harus kita pusatkan kepadanya. Dalam urusan-urusan keduniawian pun pemusatan pikiran ini mutlak diperlukan. Bukanlah sifat yang diperlukan hanya untuk suksesnya di dunia berlainan dengan sifat-sifat yang dibutuhkan untuk kemajuan spiritual atau bathin. Usaha untuk menjernihkan kegiatan kita sehari-hari ialah kehidupan rohaniah. Apapun kita laksanakan, berhasil atau tidaknya tergantung kepada kekuatan pemusatan pikiran kita kepada-Nya.
4.    Raja Marga Yoga
Raja Marga Yoga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau moksa. Melalui Raja Marga Yoga seseorang akan lebih cepat mencapai moksa, tetapi tantangan yang dihadapinya pun lebih berat, orang yang mencapai moksa dengan jalan ini diwajibkan mempunyai seorang guru Kerohanian yang sempurna untuk dapat menuntun dirinya ke arah pemusatan pikiran. Ada tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja/Yogin yaitu melakukan tapa-brata, yoga, dan samadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita ke arah yang positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan yoga dan samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran. Setelah kita menjalani tapa, brata, yoga dan semadhi diri kita akan menjadi suci, tenang, tentram dan terlatih.

2.3  Bentuk Penerapan Ajaran Astangga Yoga dalam Mewujudkan Tujuan Hidup Manusia dan Tujuan Agama Hindu
“Praúànta-manasam hy enaý yoginaý
sukham uttamam,
upaiti úanta-rajasaý
brahma-bhùtam akalmaûam”
Terjemahan:
Karena kebahagiaan tertinggi datang pada yogin yang pikirannya tenang, yang nafsunya tidak bergolak, yang keadaannya bersih bersatu dengan Tuhan (Bhagavadgita. VI.27)
Manusia yang lahir dan hidup di dunia ini memiliki tujuan, yang disebut dengan istilah tujuan hidup manusia. Manusia tidak sekedar dilahirkan dan setelah lahir dibiarkan begitu saja. Manusia dilahirkan, dipelihara, dibesarkan, dan dididik dalam lingkungan yang berbeda-beda. Pengalaman yang didapat dari pengaruh lingkungan sekitar manusia hidup dapat mengembangkan sikap mental dan cita-citanya. Sifat-sifat pribadi manusia, kemampuan dan kecenderungan, agama yang dianutnya, kebiasaan, ideologi dan politik bangsa, memberikan pengaruh besar terhadap tingkah laku manusia dalam mewujudkan tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia di dalam Agama Hindu disebut “Purusartha”. “Purusha” berarti manusia, utama, dan “artha” berarti tujuan. Purusartha berarti tujuan hidup manusia yang utama. Kitab suci Veda menjelaskan sebagai berikut :
“Ùrddhvabàhurviraumyeûa na
ca kacciûchrnoti me,
dharmàdarthaûca
kàmaûca sa kimartham na sevyate”.
Nihan mata kami mangke, manawai, manguwuh, mapitutur, ling mami, ikang artha, kàma, malamaken dharma juga ngulaha, haywa palangpang lawan dharma mangkana ling mami, ndatan juga angrëngo ri haturnyan ewëh sang makolah dharmasadhàna, apa kunang hetunya.
Terjemahan:
Itulah sebabnya hamba, melambai-lambai; berseru-seru memberi ingat; kata hamba: “dalam mencari artha dan kama itu hendaklah selalu dilandasi oleh dharma; jangan sekali-kali bertindak bertentangan dengan dharma” demikian kata hamba; namun demikian, tidak ada yang memperhatikannya; oleh karena katanya, adalah sukar berbuat atau bertindak bersandarkan dharma, apa gerangan sebabnya? (Sarasamuçcaya,11)

“Yatnah kàmàrthamokûaóam
krtopi hi vipadyate, dharmmàya punararambhah
sañkalpopi na niûphalah”.
Ikang kayatnan ri kagawayaning kama, paphala, kunang ikang kayatnan ring dharmasàdhana, niyata maphala ika, yadyapin angena-ngenan juga, maphala atika.
Terjemahan:
Usaha tekun pada kerja mencari kama, artha dan moksa, dapat terjadi ada kalanya tidak berhasil; akan tetapi usaha tekun pada pelaksanaan dharma, tak tersangsikan lagi, pasti berhasil sekalipun baru hanya dalam angan-angan, (Sarasamuçcaya,15)
Berdasarkan uraian tersebut diatas tentang tujuan hidup manusia, dapat dinyatakan bahwa ada 4 (empat). Empat tujuan hidup manusia yang utama disebut “catur purusartha”. Catur purusartha terdiri dari; Dharma, Artha, Kama, dan Moksa. Manusia adalah makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia bertanggung-jawab pada dirinya sendiri, sedangkan sebagai makhluk sosial manusia selalu berkeinginan untuk berinteraksi dengan sesamanya. Keinginan manusia berakar pada pikirannya. Dengan pikirannya manusia memiliki beraneka macam keinginan, seperti; ingin makan, minum, berteman, berkumpul, beragama dan yang lainnya. Tujuan agama Hindu dirumuskan dalam satu kalimat singkat yaitu “Moksartham jagadhita yasca iti dharma” artinya “Dharma itu untuk mewujudkan Moksa (kebahagiaan) dan jagadhita (kebaikan/kesejahteraan dunia) masyarakat. Bagiannya :
1.    Dharma
Dharma merupakan kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk berbudi pekerti luhur sesuai dengan dasar agama yang menjadi hidupnya. Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia. Keutamaan dharma merupakan sumber datangnya kebahagiaan, memberikan keteguhan budi dan menjadi dasar segala tingkah laku manusia.
2.    Artha
Artha dalam bahasa sanskerta diartikan tujuan. Segala sesuatu yang menjadi alat untuk mencapai tujua juga disebut artha. Mendapatkan dan memiliki harta mutlak adanya, tetapi yang perlu diingat agar jangan sampai diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat mengaburnya wiweka (pertimbangan rasional) sehingga tidak mampu membedakan mana yang benar dan salah. Artha perlu diamalkan (Dana Punia) bagi kemanusiaan seperti fakir miskin, orang cacat, yatim piatu dan sebagainya.
3.    Kama
Kama adalah keinginan untuk memperoleh kenikmatan (wisaya). Kama berfungsi untuk menunjang hidup yang bersifat tidak kekal. Kama dinyatakan sebagai salah satu tujuan hidup adalah untuk mengubah wisaya kama menuju sriya kama, artinya dari ingin mengumbar hawa nafsu atau wisaya menuju pada keinginan mencapai keindahan rohani atau sriya.
4.    Moksa
Moksa adalah kelepasan atau kebebasan yaitu menyatunya atman dengan Brahman. Sebagai tujuan yang tertinggi.
Mereka dapat menghubungkan diri dengan kekuatan rohaninya melalui Astanga Yoga. Astangga Yoga adalah delapan tahapan yoga untuk mencapai Moksa. Astangga yoga diajarkan oleh Maha Rsi Patanjali dalam bukunya yang disebut dengan Yoga Sutra Patañjali. Adapun bagian-bagian dari ajaran astangga yoga yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.   Yama
Yama yaitu suatu bentuk larangan atau pengendalian diri yang harus dilakukan oleh seorang dari segi jasmani, misalnya, dilarang membunuh (ahimsa), dilarang berbohong (satya), pantang mengingini sesuatu yang bukan miliknya (asteya), pantang melakukan hubungan seksual (brahmacari) dan tidak menerima pemberian dari orang lain (aparigraha).
“Yaccintayati yadyàti
ratin badhnàti yatra ca,
tathà càpnotyayatnena prànino
na hinasti yah.
Kunëng phalanya nihan, ikang wwang tan pamàtimàtin haneng ràt, senangënangënya, sapinaranya, sakahyunya, yatika sulabha katëmu denya, tanulihnya kasakitan.
Terjemahan:
Pahalanya, orang yang tidak membunuh (menyakiti) selagi ada di dunia ini, maka segala sesuatu yang dicita-citakannya, segala yang ditujunya, segala sesuatu yang dikehendaki atau diingini olehnya, dengan mudah tercapai olehnya tanpa sesuatu penderitaan, (Sarasamuçcaya,142)
“Ànrcamsyaý kûmà satyamahinsà dama àrjavam,
pritih prasàdo màdhuryam màrdavaý
ca yamà daça”.
Nyang brata ikang inaranan yama, pratyekanya nihan, sapuluh kwehnya, ànresangsya, kûamà, satya, ahingsà, dama, àrjawa, priti, prasàda, màdhurya, màrdawa, nahan pratyekanya sapuluh, ànresangsya, si harimbawa, tan swàrtha kewala; ksamà, si kelan ring panastis; satya, si tan mrsàwàda; ahingsà, manukhe sarwa bhàwa; dama, si upacama wruh mituturi manahnya; àrjawa, si dugà-dugabener; priti, si gong karuna; prasàda, beningning manah; màduhurya, manisning wulat lawan wuwus; màrdawa, pösning manah.
Terjemahan:
Inilah brata yang disebut yama, perinciannya demikian; ànresangsya, ksamà, satya, ahingsà, dama, àrjawa, priti, prasàda, màdhurya, màrdawa, sepuluh banyaknya; ànresangsya yaitu harimbawa, tidak mementingkan diri sendiri saja; ksamà, tahan akan panas dan dingin; satya, yaitu tidak berkata bohong (berdusta); ahingsà, berbuat selamat atau bahagianya sekalian mahluk; dama, sabar serta dapat menasehati dirinya sendiri; àrjawa, adalah tulus hati berterus terang; priti, yaitu sangat welas asih; prasàda, adalah kejernihan hati; màdhurya, yaitu manisnya pandangan (muka manis) dan manisnya perkataan (perkataan yang lemah lembut); màrdawa, adalah kelembutan hati, (Sarasamuçcaya, 259).
2.   Nyama
Nyama yaitu bentuk pengendalian diri yang lebih bersifat rohani, misalnya Sauca (tetap suci lahir batin), Santosa (selalu puas dengan apa yang datang), Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan) dan Iswara pranidhana (selalu bakti kepada Tuhan).
“Dànamijyà tapo dhyànam
swàdhyàyopasthaningrahah,
vratopavasamaunam ca ananam ca niyama daûa”.
Nyang brata sapuluh kwehnya, ikang niyama ngaranya, pratyekanya, dàna, ijya, tapà, dhyana, swàdhyàya, upasthanigraha, brata, upawàsa, mauna, snàna, nahan ta awakning niyama, dàna weweh, annadànàdi; ijyà, Devapujà, pitrpujàdi, tapa kàyasangcosana, kasatan ikang ûarira, bhucarya, jalatyagàdi, dhyana, ikang siwaûmarana, swàdhyàya, wedàbhyasa, upasthanigraha, kahrtaning upastha, brata annawarjàdi, mauna wàcangyama, kahrtaning ujar, haywàkeceng kuneng, snàna, trisangdhyàsewana, madyusa ring kàlaning sandhya.
Terjemahan:
Inilah brata sepuluh banyaknya yang disebut niyama, perinciannya; dàna, ijya, tapà, dhyana, swàdhyàya, upasthanigraha, brata, upawàsa, mauna, snàna, itulah yang merupakan niyama, dàna, pemberian makanan-minuman dan lain-lain; ijya, pujaan kepada Dewa, kepada leluhur dan lain-lain sejenis itu; tapà, pengekangan nafsu jasmaniah, badan yang seluruhnya kurus kering, layu, berbaring di atas tanah, di atas air dan di atas alas-alas lain sejenis itu; dhyana, tepekur merenungkan Çiwa; swàdhyàya, yakin mempelajari Veda; upasthanigraha, pengekangan upastha, singkatnya pengendalian nafsu seksual; brata/upawàsa, pengekangan nafsu terhadap makanan dan minuman; mauna/mona, itu wacanyama berarti menahan, tidak mengucapkan kata-kata yaitu tidak berkata-kata sama sekali tidak bersuara; snàna, trisandhyasewana, mengikuti trisandhya, mandi membersihkan diri pada waktu pagi, tengah hari dan petang hari, (Sarasamuçcaya, 260)
3.   Asana
Asana yaitu sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin (silasana, padmasana, bajrasana, dan sukhasana).
4.   Pranayama
Pranayama, yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan yaitu puraka (menarik nafas), kumbhaka (menahan nafas) dan recaka (mengeluarkan nafas).
5.   Pratyahara
Pratyahara, yaitu mengontrol dan mengendalikan indria dari ikatan objeknya, sehingga orang dapat melihat hal-hal suci.
6.   Dharana
Dharana, yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.
7.   Dhyana
Dhyana, yaitu pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu objek. Dhyana dapat dilakukan terhadap Ista Devata.
8.   Samadhi
Samaddhi, yaitu penyatuan atman (sang diri sejati dengan Brahman). Bila seseorang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia akan dapat menerima getaran-getaran suci dan wahyu Tuhan. Dalam kitab Bhagavadgita dinyatakan sebagai berikut:
“Yogi yuñjita satatam
àtmànaý rahasi sthitaá,
ekàki yata-citàtmà
niràúir aparigrahaá”
Terjemahan:
Seorang yogi harus tetap memusatkan pikirannya (kepada Atman yang Maha besar) tinggal dalam kesunyian dan tersendiri, menguasai dirinya sendiri, bebas dari angan-angan dan keinginan untuk memiliki (Bhagavadgita VI.10)

Selanjutnya dijelaskan bahwa ketenangan hanya ada pada mereka yang melakukan yoga. Empat jalan yang ditempuh untuk pencapaian moksa itu sesungguhnya memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Setiap orang akan memiliki kecenderungan memilih jalan-jalan tersebut, maka itu setiap orang memiliki jalan mencapai moksanya bervariasi. Moksa sebagai tujuan hidup spiritual bukanlah merupakan suatu janji yang hampa, melainkan suatu keyakinan yang berakhir dengan kenyataan. Kenyataan dalam dunia batin merupakan alam super transendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan instuisi yang dalam. Moksa merupakan sesuatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya, demikianlah dijelaskan oleh kitab suci. Oleh sebab itu mari kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran Astangga Yoga dengan tuntunan seorang guru yang telah memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Moksa adalah terlepasnya Atman dari belenggu maya (bebas dari pengaruh karma dan punarbhawa) dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungan dengan penyatuan dengan Tuhan, renungkanlah dan amalkanlah sloka berikut:
“Bhaktyà tvananyanyà úakya,
ahaý evam-vidho: ‘rjuna,
jñatuý draûþum cha tattvena
praveûþuý cha paraýtapa”.

Terjemahan:
Akan tetapi dengan berbakti tunggal padaku, O Arjuna, Aku dapat dikenal, sungguh dapat dilihat dan dimasuki ke dalam, O penakluk musuh (Bhagawadgita XI. 54)
Demikianlah ajaran kitab Astangga Yoga yang ditulis oleh Maharsi Patañjali, mengajarkan umat manusia agar mengupayakan dirinya masing-masing untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini. Siapapun juga akan dapat mencapai kesadaran tertinggi ini, apabila yang bersangkutan mau dan mampu melaksanakannya secara sungguh-sungguh.

2.4  Tantangan dan Hambatan dalam Jalan Mencapai Moksa sesuai Zamannya “Globalisasi
“Asakta-buddhiá sarvatra jitàtmà vigata
spåhaá, naiûkarmya-siddhiý
paramàý sannyàsenàdhigacchati”.
Terjemahan:
“Orang yang kecerdasannya tidak terikat dimana saja, telah menguasai dirinya dan melepaskan keinginannya, dengan penyangkalan ia mencapai tingkat tertinggi dari kebebasan akan kegiatan kerja, (Bhagavagità, XVIII.49)
Membangun kehidupan spiritual dalam perilaku sehari-hari sering mengalami kendala, tantangan dan hambatan. Berbagai macam pertanyaan bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat, terutama generasi muda. Apakah untuk melakukan kegiatan spiritual kita harus meniadakan aktivitas keseharian “karma” bekerja sebagai wujud swadha spiritual manusia itu akan berhasil dengan baik bila dilaksanakan setelah masa-masa tua (masa persiapan pensiun), mengingat saat itu seseorang telah memiliki waktu panjang serta berkurangnya tanggung-jawab dan kewajiban hidupnya. Kesenjangan hidup (rohani dan jasmani) mengantarkan terhambatnya pencapaian keseimbangan hidup seseorang. Bagaimana tantangan untuk mencapai kebahagiaan hidup ini “Moksa” dapat teratasi dengan baik :
1.    Menjauhkan diri dari keterikatan materialistis.
Mengumpulkan harta-benda (material) untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berkecukupan dalam kehidupan ini merupakan hal yang baik, namun apabila kekayaan yang kita kumpulkan membuat orang lain menjadi menderita adalah tindakan yang kurang terpuji. Menjadikan diri sebagai insan yang koruptor, pemeras, membuat masyarakat miskin dan menderita adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan tujuan hidup “Moksa”. Sikap dan tindakan seseorang yang suka berlebihan mengumpulkan materi mengantarkan yang bersangkutan susah mewujudkan kebahagian yang dicita-citakannya.
2.    Mengutamakan aktivitas yang bernuansakan spiritual
Menjadi orang yang kreatif, rajin, tekun, dan cekatan yang bernafaskan keagamaan dan kemanusiaan dapat mengantarkan yang bersangkutan mampu mewujudkan kebahagiaan hidupnya. Namun apabila sebaliknya, seperti rajin, tekun, pekerja keras hanya untuk memenuhi ambisi semata, lupa dengan kewajiban hidup beragama tentu berakibat tidak baik, dan sekaligus dapat mengantarkan yang bersangkutan menjadi insan yang menderita. Oleh karena itu bila kita memutuskan diri menjadi orang-orang rajin mendapatkan harta-benda jangan pernah lupa untuk rajin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta guna memohon keteduhan dalam hidup ini. Datanglah ke Pura (tempat suci) untuk melakukan aktivitas keagamaan dengan tulus. Walaupun disibukkan dengan kegiatan duniawi akan tetapi jangan pernah lupa mengimbanginya dengan kegiatan spiritual.
3.    Jauhkan dan hindarkanlah diri dari tindakan tidak terpuji
Tindakan manusia terpuji adalah menjauhkan diri dari kebodohan (Punggung), iri hati (Irsya), dan marah (Krodha) serta sifat-sifat negatif yang lainnya seperti ‘mabuk, berjudi, bermain wanita, dan bertindak anarkis’ karena dapat mengantarkan seseorang menjadi insan yang nista. Manusia sepatutnya selalu berusaha untuk menjadi insan yang terpuji, sebab pada dasarnya setiap kelahiran manusia adalah baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan diberikannya berbagai macam predikat kepada manusia, seperti; manusia adalah makhluk: (individu, berpikir, religius, sosial, berbudaya) dan yang lainnya. Semestinya kita patut bersyukur dilahirkan hidup menjadi manusia, karena hanya yang menjadi manusia saja yang dapat berbuat baik atau melebur perbuatan yang buruk menjadi baik. Kitab suci Veda menjelaskan sebagai berikut :
“Mànusah sarvabhùteûu varttate vai ûubhàúubhe,
aúubheûu samaviûþam
úubhesvevàvakàrayet.
Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wënang gumawayaken ikang subhasubhakarma, kuneng panëntasakëna ring úubhakarma juga ikangaúubhakarma phalaning dadi wwang”.
Terjemahan:
Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu demikianlah gunanya (phalanya) menjadi manusia, (Sarasamuçcaya, 2)

“Iyam hi yonih prathamà
yonih pràpya jagatipate,
àtmànam ûakyate tràtum
karmabhih úubhalakûaóaih.
Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wënang ya tumulung awaknya sangkeng sangsàra, makasàdhanang úubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika”.
Terjemahan:
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia, (Sarasamuçcaya, 4)
Sebagai akibat dari kemampuan untuk memilih yang dimiliki oleh manusia, mengakibatkan manusia dapat meningkatkan kehidupannya dari yang kurang baik menjadi lebih baik, dan akhirnya sampai manusia dinyatakan memiliki kedudukan yang paling tinggi (istimewa) dari semua makhluk yang ada. Meskipun demikian bukan berarti pula manusia akan terlepas sama sekali dari perbuatan-perbuatannya yang kurang baik. Secara kodrati kelahiran manusia dilengkapi dengan: sifat tri guna yakni tiga sifat utama (sattwam; ketenangan, rajas; dinamis, dan tamas; lamban). Ketiga sifat utama ini hendaknya terjaga keseimbangannya untuk tidak menjadi memicu tumbuh dan berkembangnya sad ripu yaitu enam musuh utama yang ada pada setiap manusia, yang terdiri dari: kāma; nafsu, lobha kemarahan, mada; kemabukan, moha; kebingungan, matsarya; iri-hati.
“Yo durlabhataram pràpya
mànusyam lobhato narah,
dharmàvamantà kàmàtma bhavet
sakalavañcitah”.Hana pwa tumënung dadi wwang, wimukha ring dharmasadhana, jënëk ring arthakàma arah, lobhambëknya, ya ika kabañcana ngaranya.
Terjemahan:
Bila ada orang berkesempatan menjadi orang (manusia), ingkar akan pelaksanaan dharma; sebaliknya amat suka ia mengejar harta dan kepuasan nafsu dan berhati tamak; orang itu disebut kesasar, tersesat dari jalan yang benar (Sarasamuçcaya, 9)
Dalam hidup dan kehidupan ini manusia dihadapkan pada banyak faktor kemungkinan untuk menjadi kurang baik. Kemungkinan yang dimaksud seperti; kebodohan, kemiskinan, dan kemelaratan yang disebabkan oleh karena kelelahan, lingkungan yang kurang bersahabat, dan juga karena keinginan yang tidak terkendali. Semuanya itu mengantarkan manusia dapat diliputi oleh kegelapan (awidya/timira) dan kebingungan. Disebutkan ada 7 (tujuh) macam sifat manusia secara kodrati dapat mengantarkan hidup manusia menjadi awidya, gelap, suram, timira yang dikenal dengan istilah “sapta timira”. Yang disebut sapta timira antara lain; surupa; ketampanan/kecantikan, dana; kekayaan, guna; kepandaian, kulina; kebangsawanan, yowana; keremajaan, sura; minuman keras, dan kasuran; kemenangan. Ketujuh unsur/sifat alami itulah yang mengantarkan manusia menjadi awidya atau gelap sebagai akibat dari kebodohannya.
“Ajñànaprabhavam hidaý
yadduhkhamupalabhyate,
lobhàdeva tad ajñànam ajñàna
lobha eva ca.
Apan ikang sujhaduhkha kabhukti, punggung sangkanika, ikang punggung, kalobhan sangkanika, ikang kalobhan, punggung sangkanika matangnyan punggung sangkaning sangsàra.
Terjemahan:
Sebab suka duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan; kebodohan ditimbulkan oleh lobha, sedang lobha (keinginan hati) itu kebodohan asalnya; oleh karenanya kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu (Sarasamuçcaya,400)
Tujuh macam sifat awidya atau kegelapan yang ada pada manusia apabila tidak dapat dikendalikan dengan baik akan menimbulkan berbagai-macam tindakan kejam. Disebutkan manusia memiliki enam peluang untuk bertindak kejam apabila keberadaan sapta timira tidak terkendalikan. Enam tindakan kejam itu disebut dengan istilah sad atatayi, yang terdiri dari: agnidā; membakar, wisada; meracun, atharwa; mensihir, çastraghna; mengamuk, dharatikrama; memperkosa, rajapisuna; memfitnah. Menjadi pekerja aktif dengan jabatan sebagai atasan kurang memungkinkan untuk melakukan kegiatan spiritual karena disibukkan oleh berbagai macam aktivitas kantor. Perilaku seseorang kadang menyimpang dari dharma akibat tugas yang diberikan oleh majikan untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan atasan (pihak manajemen). Biasanya pada saat menjabat semestinya seseorang dapat memanfaatkan kesempatan untuk menegakkan dharma. Setiap keputusan yang diambil oleh seorang atasan seharusnya menguntungkan masyarakat banyak. Terkadang banyak orang yang kurang sabar dalam mengumpulkan harta dari pekerjaan yang ditekuninya, seperti dengan mengambil jalan pintas melakukan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Berdasarkan dharma, dalam mengumpulkan harta tidak harus dengan korupsi. Tidak sedikit orang menjadi kaya tanpa korupsi, karena mereka berusaha dengan profesional dan hasil usahanya dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak seperti dengan mendirikan yayasan untuk orang yang tidak mampu (fakir miskin) atau mendirikan sekolah yang dapat menunjang pendidikan demi masa depan anak-anak bangsa ini. Sikap dan perilaku yang diwujudkan oleh seseorang seperti tersebut di atas (mendirikan yayasan fakir miskin) berarti yang bersangkutan telah mampu membangun spiritualnya dan sekaligus dapat mengendalikan sifat-sifat awidya yang dimilikinya. Agar manusia tidak terjerumus ke penderitaan sebagai akibat dari kebodohan, dan kegelapannya di tengah-tengah arus globalisasi yang serba terbuka maka ia berkewajiban untuk meningkatkan kecerdasan intelektual dan religiusnya. Umat sedharma hendaknya selalu dapat meningkatkan diri untuk belajar, menumbuh kembangkan kebijaksanaannya, memohon tuntunan-Nya untuk berlatih berpikir jernih, berketetapan hati, dan selalu bersikap baik “dharma” serta sikap positif yang lainnya.
Dengan demikian umat sedharma akan selalu tenang, sabar, dan penuh kedamaian dalam mewujudkan tujuan hidup dan tujuan agamanya. Untuk mencapai moksa seseorang dapat memilih salah satu diantara Catur Marga Yoga. Apakah melalui Jnana Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Bakti Marga Yoga dan Raja Marga Yoga, diharapkan dapat disesuaikan dengan kemampuan serta bidang yang digeluti saat ini. Pada saat perang Berata Yuda sudah berakhir, dimana kemenangan berada dipihak Pandawa, semua musuh-musuhnya sudah kalah perang tinggal Pendawa yang hidup. Yudistira sebagai pemimpin Pandawa memutuskan pergi kehutan untuk mengasingkan diri dengan maksud mendekatkan diri kehadapan Hyang Widhi Wasa dengan mengikuti ajaran Raja Marga Yoga sebagai salah satu bagian dari Catur Marga Yoga. Arjuna sebagai orang yang bijaksana yang mempunyai visi dan misi jauh kedepan menganjurkan kepada Prabu Yudistira agar kembali untuk memimpin kerajaan. Untuk mencapai moksa tidak harus pergi ke hutan bersemadi atau beryoga, di dalam kerajaan pun dengan berbuat baik dan menegakkan kebenaran “dharma” moksa dapat dicapai.
“Kamarthau lipsamànastu
dharmmamevàditaûcaret, na
hi dharmmàdapetyarthah
kàmo vapi kadàcana”.
Yan paramarthanya, yan arthakàma sàdhyan, dharma juga lëkasakëna rumuhun, niyata katëmwaning arthakàma mëne tan paramàrtha wi katemwaning arthakàma deninganasar sakeng dharma.
Terjemahan:
Pada hakikatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dahulu; tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti; tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma (Sarasamuçcaya, 12).
Keterikatan adalah moha, kebebasan adalah moksa. Selama kita masih awidya dan terikat oleh hal-hal duniawi maka, moksa sangat sulit untuk tercapai. Kesulitan untuk melepaskan keterikatan itu, dapat diatasi dengan latihan-latihan secara rutin. Untuk mengendalikan Sad Ripu tidak mudah, karena membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk selalu melakukan introspeksi terhadap diri kita sendiri, dan evaluasi diri sejauh mana telah dilakukan latihan-latihan kearah pengendalian diri yang dimaksud. Melaksanakan ajaran Catur Marga Yoga memang membutuhkan mental yang tangguh, tidak mudah menyerah, dan harus mengetahui kemampuan yang dimiliki. Seseorang sebaiknya harus mengetahui bakat yang dikaruniakan oleh Hyang Widhi Wasa kepadanya, sehingga dalam melaksanakannya sesedikit mungkin mendapat halangan atau kendala. Dengan demikian dalam waktu yang relatif singkat kita sudah dapat melakukannya mendekati sempurna walaupun belum mencapai moksa tetapi sudah dirasakan hasilnya.
Moksa merupakan sraddha yang ke lima dari Panca Sraddha sebagai dasar keyakinan bagi umat Hindu. Percaya dengan adanya moksa berarti meyakini bahwa kebahagiaan itu ada, terjadi, dan dapat dicapai oleh setiap umat Hindu. Moksa merupakan tujuan hidup tertinggi dari umat Hindu. Kebahagiaan yang sejati ini baru akan dapat tercapai oleh seseorang bila ia telah dapat menyatukan jiwanya dengan Tuhan. Penyatuan Jiwa dengan Tuhan itu baru akan didapat bila ia telah melepaskan semua bentuk ikatan keduniawian pada dirinya. Keterikatan yang melekat pada diri kita itulah yang dinamakan maya atau kepalsuan. Maya dalam Agama Hindu juga dinamakan sakti, prakrti, kekuatan dan pradhana. Maya selalu mengalami perubahan yang pada hakikatnya tidak ada. Keberadaannya semata-mata disebabkan oleh adanya hubungan indria dengan objek duniawi ini. Keterikatan akan kekuatan maya atau kepalsuan duniawi merupakan hambatan bagi umat sedharma untuk mewujudkan moksa.

2.5  Upaya – Upaya dalam Mengatasi Hambatan dan Tantangan Untuk Mencapai Moksa Menurut Zamannya “Globalisasi”
“yataá pravåttir bhùtànaý
yena sarvam idaý tatam, sva-
karmaóà tam abhyarcya
siddhiý vindati mànavaá.
Terjemahan:
Dia dari siapa datangnya semua insani oleh siapa semuanya ini diliputi; dengan memuja-Nya dengan kewajibannya sendiri, manusia mencapai kesempurnaan (Bhagavagità XVIII.46,)
Setiap orang yang menyatakan diri sebagai umat Hindu berkewajiban untuk mengamalkan ajaran agamanya. Kewajiban mengamalkan ajaran agama seperti ini telah dilaksanakan secara turun-temurun sejak nenek moyang ada. Kebiasaan nenek moyang diwarisi oleh generasi ke generasi berikutnya. Kebenaran dari keyakinannya beragama seperti itu dipandang memberikan manfaat positif bagi keselamatan dan kelangsungan hidupnya.
Untuk dapat mencapai moksa, seseorang harus memahami, mempedomani, dan mematuhi persyaratan-persyarata proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma-norma ajaran Agama Hindu. Adapun tanda-tanda atau ciri-ciri seseorang yang telah mencapai “moksa” atau mencapai jiwatman mukti adalah :
1.    Selalu dalam keadaan tenang secara lahir maupun batin.
2.    Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka.
3.    Tidak terikat dengan keduniawian.
4.    Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).
Untuk mencapai moksa, juga disebutkan mempunyai tingkatan-tingkatan yang tergantung dari karma (perbuatannya) seseorang selama hidupnya, apakah sudah sesuai dengan norma-norma ajaran Agama Hindu. Tingkatan-tingkatan moksa yang dicapai oleh seseorang dapat dikategorikan sebagai berikut;
1.    Moksa apabila seorang sudah mampu mencapai kebebasan rohani dengan meninggalkan badan kasar (jasad).
2.    Adi Moksa apabila seorang sudah mencapai kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan jasad tetapi meninggalkan bekas-bekas misalnya abu, dan atau tulang.
3.    Parama Moksa apabila orang yang bersangkutan telah mencapi kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan badan kasar (jasad) serta tidak membekas.

“Buddhilàbhàddhi puruûah
sarvaý tarati kilbisam, vipàpo
labhate sattvam
sattvasthah samprasidati.
Apan ika sang tëlas tumenung kaprajnàn, hilang kalangkaning jñànanira, niûkalangka pwa jñànànira, katëmu tang sattwaguóa denira, sattwa kewale, tan karakëtan, rajah tamah, sattwa ngaraning satah bhàwah, si uttamajnànà, citta sat swabhawa, tar kakenan trsnàdi, katëmu pwang sattwaguóa denira, prasannàtmaka ta sira, tan karaket ring ûarira, luput ring karmaphala.
Terjemahan:
Karena orang yang telah mendapat kearifan budi, lenyap segala noda pikirannya; tanpa noda (suci bersih) budi pikiranya, maka sifat “sattwa” diperolehnya; sifat sattwa saja tidak dicampuri (dilekati) sifat “rajah-tamah”; sattwa artinya sifat baik, yaitu budi pikiran utama, pikiran berpembawaan baik, tidak dihinggapi trsna (kehausan hati) dan sejenisnya; jika telah didapat olehnya sifat sattwa, maka ia berjiwa suci bersih, tidak terikat pada badan kasar, bebas dari karmaphala (buah perbuatan), (Sarasamuçcaya, 50)

“úraddhàvàn anasùyaú ca úåóuyàd api yo naraá,
so ‘pi muktaá úubhàmlokàn
pràpnuyàt puóya-karmaóàm.
Terjemahan:
Orang yang mempunyai keyakinan dan tidak mencela, orang seperti itu walaupun sekedar hanya mendengar, ia juga terbebas, mencapai dunia kebahagiaan manusia yang berbuat kebajikan (Bhagawadgita XVIII.71)
Adapun upaya-upaya yang patut dilakukan dalam mengatasi hambatan dan tantangan untuk mencapai moksa sampai dengan sekarang ini adalah:
1.    Melaksanakan meditasi
Memuja kebesaran dan kesucian Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa beserta prabhawanya adalah merupakan kewajiban bagi setiap umat beragama “Hindu”. Semakin dekat kita dengan-Nya, maka semakin merasa tenteram damai hidup kita ini. Ada banyak jalan atau cara yang dapat kita lalui untuk mewujudkan semuanya itu, diantaranya melalui sembahyang sesuai dengan waktunya, melaksanakan upawasa, merenungkan keberadaan Hyang Widhi beserta prabhawa-Nya.
2.    Mendalami ilmu pengetahuan
Mendalami berbagai cabang ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangannya adalah merupakan kewajiban setiap insan yang dilahirkan sebagai manusia. Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sampai saat ini dapat dijadikan media oleh manusia yang dilahirkan dengan kesempurnaan yang terbatas, untuk menyelesaikan berbagai macam tantangan dan hambatan yang sedang dan akan dihadapinya guna mewujudkan cita-cita hidupnya. Oleh karenanya manusia hendaknya dengan senang hati, penuh semangat, tekun dan penuh kesabaran mempersiapkan waktunya untuk belajar sepanjang hayat, sebab tidak ada kata terlambat untuk belajar kebaikan.
3.    Melaksanakan/mewujudkan Dharma
Dalam ajaran Catur Parusàrtha dijelaskan bahwa tujuan umat sedharma beragama Hindu adalah terpenuhinya kama, artha dan moksa berdasarkan dharma. Bhagawad Gita menjelaskan bahwa dharma dan kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa di mana ada dharma, di sana ada kebajikan dan kesucian, di mana kewajiban dan kebenaran dipatuhi di sana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma juga, maka kehidupan hendaknya selalu ditempuh dengan cara yang suci dan terhormat.
Di saat ini, banyak orang seakan bersikap mengabaikan kebenaran. Orang sudah mulai menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan nya. Ini menandakan krisis moral sudah meraja lela di mana mana, kebenaran dan keadilan semakin langka. Orang-orang sudah mulai meninggalkan budaya malu, semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya dharma tidak pernah berubah, dharma tetap ada sejak zaman dahulu, sekarang dan yang akan datang. Dharma ada sepanjang zaman tetapi mempunyai karateristik menyesuaikan setiap zaman. Melakukan latihan kerohanian (spiritual) untuk Kerta Yuga yang baik adalah dengan melakukan latihan Meditasi.
Pada zaman Treta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban. Untuk zaman Dwapara latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk zaman Kali Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang-ngulangi menyebut nama Tuhan.
4.    Mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa
Proses mendekatkan diri ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa, umat sedharma dapat melakukan dengan cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rohani seperti ini secara sungguh-sungguh dan bekesinambungan, batin yang bersangkutan, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat-sifat Tuhan yang selalu ada dalam dirinya. Apabila sifat-sifat Tuhan sudah menyatu dengan pemujanya maka ia sudah dekat dengan-Nya, dengan demikian semua permohonan nya dapat dikabulkan (terlindung dan selamatan) melakukan segala pekerjaan dan menerima hasilnya sesuai dengan ikhlas dan jujur.
5.    Menumbuhkembangkan kesucian (Jiwa dan raga)
Untuk memperoleh pengetahuan suci dari Sang Hyang Widhi Wasa, umat sedharma hendaknya selalu berdoa memohon tuntunan-Nya. Buku Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan menjelaskan : Asatoma Satgamaya, Tamasoma Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya, artinya; Tuntunlah kami dari yang palsu ke yang sejati, tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke kekekalan.
Sebaiknya setiap akan melakukan kegiatan didahului dengan memohon tuntunan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, agar kita selalu dalam keadaan selamat dan terlindungi. Tujuannya adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Paramàtman. Semuanya dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan dharmaMoksartham Jagadhita ya ca iti dharmah” tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan umat berdasarkan dharma.
6.    Mempedomani dan melaksanakan Catur Marga
Moksa (hidup bahagia) dapat diwujudkan atau ditempuh dengan beberapa cara sesuai dengan bakat dan bidang yang ditekuni oleh umat sedharma. Disebutkan ada empat cara yang patut dipedomani dan dilaksanakan untuk mewujudkan hidup bahagia yang disebut dengan Catur Marga Yoga.yaitu terdiri dari:
a.      Bhakti Marga
Bhakti marga adalah jalan atau cara untuk mencapai Moksha, kebebasan, bersatunya atman dan Brahman dengan melaksanakan sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Bhakti adalah cinta yang mendalam kepada Tuhan, bersifat tanpa pamerih dan tanpa keinginan duniawi apapun juga.
b.       Karma Marga
Cara atau jalan untuk mencapai Moksha (bersatunya Atman dengan Brahman), dengan selalu berbuat baik (tidak mengharapkan balasan), hasil yang diperoleh diabdikan untuk kepentingan bersama (amerih sukaning wonglen) disebut Karma Marga.
c.        Jnana Marga
Jnana Marga adalah jalan untuk mencapai persatuan atau pertemuan antara Atman dengan Paramatman (Tuhan) berdasarkan atas pengetahuan (kebijaksanaan filsafat) terutama pengetahuan kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan duniawi (maya) mengamalkan ilmu  pengetahuan yang dimiliki untuk kesejahteraan untuk manusia dan kelestarian alam.
d.      Raja Marga
Raja marga adalah cara atau jalan untuk mencapai Moksha dengan melaksanakan tapa, brata, Yoga, dan semadi. Mengendalikan diri,untuk mengatasi gejolak sad ripu yang bersemayam dalam diri kita dengan melakukan latihan tapa, brata, Yoga, dan semadi dapat mengantarkan seseorang menumbuhkan dan mengembangkan kesabaran untuk mencapai ketenangan dalam hidupnya. Ketenangan adalah jalan utama bersatunya atman dengan Brahman. Ceritra berikut ini dapat dijadikan sebagai ilustrasi untuk belajar mewujudkan ketenangan hidup:

Belajar Hidup Bahagia

Di tengah-tengah hutan rimba ada sebuah pesraman yang dipimpin oleh seorang Rsi bernama Rsi Çuka. Dalam aktivitas keseharian Rsi Çuka selalu memberikan Dharma wecana kepada murid-muridnya tentang tapa, brata, Yoga, dan semadi. Dari sekian banyak murid-muridnya ada seorang raja bernama raja Jenaka. Raja Jenaka di samping mempunyai kerajaan yang sangat besar, megah dan kaya juga berkeinginan belajar spiritual (tapa, brata, Yoga, dan semadi) kepada Rsi Çuka yang sangat terkenal ilmu spiritualnya. Berbagai macam materiujian diberikan kepada para siswanya agar dapat mencapai Moksha dalam kehidupan ini. Belajar meninggalkan keduniawian, melepaskan semua ikatan material, latihan-latihan menyatukan atman dengan Brahman selalu diupayakan dalam proses pembelajaran. Pada suatu hari Rsi Çuka agak terlambat memberikan Dharma wecana, sehubungan raja Jenaka ada keperluan kerajaan yang sangat mendesak dan tidak boleh diwakili. Rsi Çuka dengan sengaja menunggu Raja Jenaka, ingin menguji kesabaran para muridnya apakah dapat mengekang sad ripu sebagai dasar belajar Yoga.
Dari pengamatan Rsi Çuka banyak para muridnya gelisah dan gusar dan kadang-kadang timbul marah, tidak sabar menunggu sampai ada yang protes: bahwa pelajaran dimulai saja, mengapa kita dibeda-bedakan antara orang biasa dengan raja. Setelah Raja datang Dharma wecana baru dimulai dan Rsi Çuka memberikan wejangan: di antara kita harus dapat mengendalikan diri, sad ripu, dan amarah, sehingga ketenangan bathin dapat diwujudkan pada diri kita masing-masing. Setelah Dharma wecana selesai, maka pelajaran dilanjutkan dengan Yoga, semadi. Pembelajaran ini dilakukan dengan penuh konsentrasi,
pikiran-pikiran siswanya terpusat pada proses pembelajaran.
Suasana khusuk, hening, sepi tercipta di pasraman Rsi Çuka. Sesekali hanya suara jengkrik yang terdengar, para muridnya sedang asyik melakukanYoga semadi, tiba-tiba Rsi Çuka berteriak bahwa sedang ada ‘kebakaran’ di kota kerajaan. Di antara para murid-nya pada bubar, berlarian pergi ke kota kerajaan ingin menyelamatkan harta dan rumahnya yang kebakaran. Tetapi Raja Jenaka tidak bergeming sedikitpun, dia telah masuk dalam keadaan semadi, beliau berbahagia dalam atman. Rsi Çuka mengamati wajah Raja Jenaka dengan perasaan sangat gembira. Setelah beberapa murid-muridnya yang lari kembali dan menyampaikan bahwa di kota Raja tidak ada kebakaran, Rsi Çuka pun memberikan penjelasan arti dari peristiwa tersebut. Penundaan mulainya Dharma wecana adalah untuk menghormati raja, karena beliau telah menghapuskan keakuannnya, kebangsawanannya dan mempunyai kerendahan hati dengan tekun berlatih mengendalikan sadripu serta berhasil dengan sangat baik. Ini perlu dicontoh oleh semua siswa, katanya. Dan peristiwa kebakaran
di kota kerajaan sebenarnya tidak pernah terjadi, peristiwa kebakaran adalah rekayasa Rsi Çuka dan itu merupakan salah satu materi ujian dari Rsi Çuka. Kalau mau berhasil sebagai seorang spiritual (Yoga) harus berani melepaskan semua ikatan keduniawian. Tanpa ada kemauan untuk melenyapkan keterikatan duniawi ini tertutup kemungkinanya dapat mencapai tujuan sebagai seorang
Berbagai upaya atau pelatihan-pelatihan untuk membebaskan diri dari hambatan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup dan kehidupan ini barangkali sudah dan sedang dilaksanakan oleh umat seDharma, namun demikian hal hasilnya belum juga dapat diwujudkan sebagaimana harapan bersama. Yakinlah usaha terbaik yang ingin dicapai membutuhkan ketekunan, ketulusan, kesujudan, keyakinan dan motivasi tanpa pamerih berpayungkan Dharma atau kewajiban. Belakangan ini tidak sedikit umat seDharma dari berbagai tingkatan usia sedang melakukan usaha menuju tugas mulia tersebut melalui latihan-latihan bersabar, berDharma, Yoga dan semadi dan yang lainnya. Berbagai judul buku penuntun berlatih Yoga dan semadi untuk yang baru memulai belajar sudah cukup banyak beredar di toko-toko buku. Demikian juga bukubuku yang lainnya yang ditulis bernafaskan ketrampilan, kejujuran, kesabaran, menuju sukses ikut menghiasi toko buku/perpustakaan yang ada. Suasana ini sangat membantu umat Hindu untuk meningkatkan pembelajaran spiritual dan keterampilannya melalui aktivitas membaca.
Untuk dapat mewujudkan tujuan hidup umat seDharma dan tujuan agama Hindu, setiap individu dapat memilih di antara keempat marga (catur marga) tersebut. Pada hakikatnya semuanya adalah sama tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya, yang utama adalah bagaimana umat dengan sungguh-sungguh, meyakini, tulus, dan disiplin untuk melaksanakannya. Segala sesuatu yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, yakin, tulus, dan penuh disiplin maka betapapun sulitnya hambatan dan tantangan yang dihadapi termasuk untuk mencapai ‘Moksha’semoga dapat diwujudkan.

2.6 Contoh-contoh Orang yang Dipandang Mampu Mencapai  Moksha

Perenungan:
Aham àtmà guðàkeúa
sarva-bhùtàúya-sthitaá,
aham àdiú cha madhyaý ca
bhùtànàm anta eva cha.
Terjemahan:
Aku adalah Sang Diri yang ada dalam hati semua makhluk,wahai Gudakesa,
Aku adalah permulaan, pertengahan dan akhir dari semua mahluk (Bhagawadgita X.20).

Tuhan “Brahman” telah menciptakan semua yang ada ini. Pada semua ciptaan-Nya beliau bersemayam untuk kesejahtraan dan kebahagiaan hidup ini. Pada saatnya nanti semua yang diciptakan ini kembali kepada-Nya.
Dapat mewujudkan catur purusãrtha dalam hidup dan kehidupan ini adalah kewajiban utama setiap individu umat sedharma. Melaksanakan kewajiban sendiri adalah lebih mulia dari aktivitas yang lainnya. Kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin (Mokshartham jagadhita) sesungguhnya adalah puncak dari perjuangan hidup manusia. Kesejahtraan adalah terpenuhinya kebutuhan bhoga, upabhoga dan paribhoga selama hidup menjadi manusia. Sedangkan kebahagiaan batin adalah terpenuhinya kebutuhan rohani selama hidup dan berkehidupan termasuk bersatunya atman dengan Brahman yang
disebut Moksha. Moksha atau mukti atau nirwana adalah kebebasan, kemerdekaan atau terbebas dari ikatan karma, kelahiran, kematian, dan belenggu maya/penderitaan hidup keduniawian. Bersatunya atman dengan Brahman adalah tujuan terakhir atau tertinggi bagi umat Hindu. Tujuan tertinggi umat Hindu ini dapat dicapai dengan mempedomani, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan benar. Melaksanakan persembahyangan, olah batin dengan menetapkan cipta (dharana), memusatkan cipta (dhyana) dan mengheningkan cipta (semadhi) merupakan bagian dari aktivitas menuju Moksha. Moksha adalah kondisi di mana seseorang mampu melampaui atau lepas bebas dari segala sesuatu yang ada di dunia. Manusia tidak lagi terikat oleh keindahan dunia. Pandangan ini sejalan dengan kisah yang dialami banyak tokoh spiritual dalam ceritera rama-sitha.
Tokoh Rama, yang digambarkan sebagai seorang yang bijaksana dan tidak lagi terikatdengan hal-hal duniawi. Ketika rama dijemput adiknya dan hendak dijadikan seorang raja namun rama menolaknya. Tokoh Anoman yang digambarkan selalu taat dan setia menjalankan kewajibannya (dharma) sebagai duta Rama ketika diutus mencari kabar tentang Devi Sitha yang diculik Rahwana.
Masing-masing peribadi dari umat Hindu yang telah mencapai jiwa mukti dalam hidupnya tidak lagi terikat pada gelombang kehidupan di dunia ini. Baginya bekerja adalah sebagai pemujaan kepada Tuhan dan semua hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Mereka memiliki pandangan yang sama terhadap keberhasilan dan kegagalan, terhadap suka dan duka, memiliki sifat cinta kasih terhadap semua yang ada di dunia ini. Dalam hubungan ini baca dan hayatilah sloka berikut:

Man-manà bhava mad-bhakto
mad-yàji màý namoskuru,
màm evai ûyasi yuktvai vam
àtmànaý matparàyaóaá.


Terjemahan:
Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku, sembahlah Aku sujudlah pada-Ku. Setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagaitujuan, engkau akan datang padaku (Bhagawadgita IX. 34).

Seseorang yang telah mencapai jiwa mukti segala perbuatannya dipandang
telah berubah menjadi Yoga dan dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi orang yang telah mencapai Moksha atau kebahagiaan hidup ini, yang bersangkutan selalu berpikir, berbicara dan berbuat senafas Brahman. Orang suci yang telah mencapai kesadaran dirinya yang sejati adalah mereka yang telah mencapai jiwa mukti. Ia telah mempersembahkan setiap pikiran, ucapan dan perbuatannya kepada Tuhan, dan dengan demikian segala perbuatannya akan menjadi ibadah.
Namun bagi masyarakat kebanyakan “biasa” yang belum mencapai kesadaran jiwa mukti, maka semua yang dikerjakannya merupakan sesuatu yang masih terikat dengan hasilnya. Mereka menganggap, semua pikiran, ucapan dan pekerjaan yang dilakukan oleh dirinya diharapkan memberikan fasilitas yang diinginkan. Mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa semua yang ada ini diliputi dan dikuasai oleh kebutuhan. Seseorang yang demikian sesungguhnya adalah orang yang masih dipenuhi oleh sifat-sifat egoisme. Pekerjaan yang dilandasi oleh rasa egoisme dapat mendatangkan malapetaka dan penderitaan.
Sehubungan dengan hal itu baca, renungkan dan amalkanlah dalam hidup ini baik-baik sloka berikut;
Måityuá sarva-haraú càham
udbhavaú ca bhavisyatàm,
kirtiá úrir vàk cha nàrióàm
småitir medhaa dhåtiá kûamà.
Terjemahan:
Aku ini kematian yang meliputi segala ciptaan, dan Aku ini asal mula yang
akan ada nanti, dan dari sifat-sifat wanita Aku adalah kemashuran, kemakmuran,
ucapan, ingatan, kecerdasan, ketetapan dan kesabaran (Bhagawadgita X.34).

Dalam hubungan ini hendaklah mereka yang telah mencapai jiwa mukti dapat menuntun mereka-mereka yang belum mencapainya, sehingga hidupnya lebih berarti dan bermanfaat, serta secara pelan dan pasti akan menuju pada kesempurnaan. Berikut ini adalah beberapa contoh ilustrasi orang-orang yang dapat dipandang sudah mencapai “Moksha” sebagai berikut:

Bhagawan Byasa (Wyasa)

Pada zamannya Waiwasta Manu ada yang bernama Bhagawan Byasa, putra bhagawan Parasara. Beliau telah mendapatkan sinar kesadaran bathin. Sri Krsna Dwipayana gelar beliau yang lain, lagi pula beliau titisan Bhatara Wisnu. Demikianlah untuk itu beliau diminta oleh Dewa Brahma untuk mempelajari Weda pada jaman Waiwasta Manu.
Ada siswa beliau empat orang yang paling ahli dalam Veda. Sebab saya adalah keturunan seorang kusir. Adapun Bhagawan Jemini, keahliannya yang terpenting adalah
Samaveda. Bhagawan Polaha (adalah) Rgveda keistimewaannya. Bhagawan
Waisampayana (adalah) Yajurveda sebagai kitab sucinya yang teristimewa.
Bhagawan Sumantu (adalah) Atharwaveda pengetahuannya yang paling utama. Adapun hamba (adalah) Itihasa dan Purana yang diminta untuk mendalaminya. Hanya satu, yaitu Yajurveda yang beliau tiru dari ayahanda hamba Bhagawan Byasa. Bhagawan Waisampayana akhirnya yang membagi empat hymne itu. Kempat mantra itulah yang menyebabkan menjadi serba tahu. Orang yang ahli dalam Yajurveda itulah yang beliau jadikan pengawas asrama (pandita). Orang yang ahli dalam Rgveda, ilmu Ketuhanan yang dijadikan pedoman upacara. Orang yang mempelajari Samaveda, ilmu pengetahuan suara yang dijadikan nyanyian pujian. Adapun orang yang ahli dalam Atharwaveda (dijadikan) pembinaan musuh namanya dan oleh karena itu, akan bijaksana (bila ia) dipergunakan oleh raja (Pemerintah) Sandhi. (Gde dan Pudja. Gede, 1981:44).
Bhagawan Byasa adalah Maharsi yang mengumpulkan wahyu-wahyu suci Tuhan menjadi kitab suci Veda. Kebesaran jiwa Maharsi Wyasa ini menjiwai nenek moyang keturunan Bharata. Beliau adalah penegak keadilan dan kebenaran. Sari-sari ajarannya telah dikumpulkan oleh seorang Rsi, bernama Rsi Wararuci. Nama pustaka itu adalah “Sarasamuccaya”. Rsi Wararuci adalah penulis kitab Sarasamuccaya, yang kini menjadi sebagai salah satu kitab suci, sebagai penuntun jiwa dan perilaku umat manusia untuk mencapai kehidupan yang suci, kehidupan yang tidak terikat oleh hawa nafsu yang akhirnya dapat mencapai kebahagiaan abadi (Parisada Hindu Dharma Pusat, 1968:39).
Secara struktural isi Bhagawadgita lebih terarah dan merupakan pengumpulan dari veda-veda sebelumnya. Ini merupakan satu langkah perkembangan sejarah berpikir dari agama Hindu. Penelitian mendalam dan meluas telah membuktikan bahwa sebagaimana halnya disebut-sebut di dalam Purana bahwa usaha kodifikasi catur veda sebagai jasa terbesar dari Bhagawan Byasa (Viyasa), tampaknya penggubahan Bhagawadgita pun merupakan buah karya besar Bhagawan Byasa. Kekayaan dan ketajaman pemikiran Viyasa yang merupakan rakhmat Tuhan telah mampu mengungkapkan seluruh ajaran veda secara thematik dan didaktik metodolois sehingga buah karyanya tidak saja menyedapkan untuk dibaca dan dipelajari oleh anak-anak, tetapi juga terbuka kepada seluruh lapisan masyarakat yang beraneka profesi dan latar belakang kemampuan pikir mereka. Kesemua teori berpikir yang mencakup masalah konsepsional strategi berpikir untuk meletakkan landasan operasional bagi tercapainya tujuan hidup manusia yang paling asasi, yaitu Dharma-Artha-Kama-Moksha dalam empat cabang ilmu (Catur Vidya) meliputi idiologi-agama-ekonomi-politik dibahasnya secara konsepsional di dalam Mahabharata (Pudja. G, 2005:xi).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Bhagawan Byasa adalah orang suci Hindu yang pada masa hidupnya selalu mengabdikan dirinya kepada Tuhan demi untuk kesejahteraan dan kebahagian umat manusia. Beliau adalah putra Bhagawan Parasara sebagai titisan dari Bhatara Wisnu yang oleh Dewa Brahma disuruh untuk menerima dan mempelajari veda (catur vedasebagai wahyu Tuhan bersama empat orang muridnya. Bhagawan Byasa telah menyatu dengan Tuhan (Brahman) dengan meninggalkan hasil karyanya yang sangat bermanfaat untuk umat manusia.

Dang Hyang Dwijendra

Seorang keturunan brahmana (Brahmana wangsa) bernama Nirartha adik dari Danghyang Angsoka, putra dari Danghyang Asmaranatha. Ketika Sang Nirartha sedang muda jejaka beliau mengambil istri, di Daha, putri dari Danghyang Panawaran yaitu golongan keturunan Bregu di Geria Mas Daha bernama Ida Istri Mas. Setelah bersuami-istri, Sang Nirartha dilantik (diniksa) oleh Danghyang Penawaran menjadi pendeta (Brahmana janma) diberi gelar Danghyang Nirartha. Dari perkawinan ini Danghyang Nirartha mendapat dua orang putra, yang sulung putri diberi nama Ida Ayu Swabhawa alias Hyangning Salaga (yang berarti dewanya kuncup bunga melur) sebagai nama sanjungan karena cantik jelita rupa dan perawakannya serta pula ahli tentang ajaran batin. Adiknya seorang putra diberi nama Ida Kulwan (artinya kawuh/barat) dan diberi nama sanjungan Wiraga Sandhi yang berarti kuntum bunga gambir, karena tampan dan gagah perawakannya (Sugriwa, 1993:8).
Sementara itu kerusuhan yang sangat mengerikan telah melanda tanah Jawa. Banyak penduduk Majapahit berusaha menyelamatkan diri, pindah ke arah timur antara lain ke Pasuruan, Pegunungan Tengger, Brambangan (Banyuwangi) dan sampai ada yang menyeberang ke Bali. Saat itulah Danghyang Nirartha turut pindah dari Daha ke Pasuruan yang disertai oleh dua orang putra-putrinya. Sementara itu istrinya disebutkan tidak turut pindah ke Pasuruan. Setelah beberapa lama di Pasuruan, Danghyang Nirartha beristrikan Ida Istri Pasuruan. Diah Sanggawati (seorang wanita yang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya, adalah nama sanjungan dari Ida Istri Pasuruan. Beliau adalah putri dari Danghyang Panawasikan, dan masih merupakan saudara sepupu dari Danghyang Nirartha. Perkawianan antara Danghyang Nirartha dengan Diah Sanggawati melahirkan dua orang putra, yang sulung bernama Ida Wayahan Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) yang berarti burung yang sangat indah karena tampan dan indah raut roman muka dan bentuk angganya. Adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan yang berarti fajar menyingsing.
Setelah beberapa lama berada di Pasuruan, kemudian Danghyang Nirartha bersama 4 (empat) orang putra-putrinya pindah ke Brambangan (Banyuwangi), namun istrinya tidak disebutkan turut. Brambangan (Blambangan) Banyuwangi pada saat itu diperintah oleh raja Sri Aji Juru. Danghyang Nirartha memperistri Sri Patni Keniten, dan dari perkawinannya melahirkan 3 (tiga) orang putraputri.Yang sulung bernama Ida Rahi Istri, rupanya cantik dan pandai tentang ilmu kebatinan. Yang kedua bernama Ida Putu Wetan atau Ida Putu Telaga atau disebut juga Ida Ender (yang berarti ugal-ugalan) karena terkenal pandainya, kesaktiannya dan ahli ilmu gaib serta banyak tulisan buah tangannya. Yang bungsu bernama Ida Nyoman Keniten (yang berarti tenang dan disiplin air). Sri Patni Keniten yang sungguh-sungguh cantik molek rupanya sehingga terkenal dengan sebutan “jempyaning ulangun” yaitu sebagai obat penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara. Beliau adalah adik kandung dari Sri Aji Juru, turunan raja-raja (Dalem) dan turunan brahmana, terhitung buyut dari Danghyang Kresna Kepakisan di Mojopahit, dan putri kedua dari raja Brangbangan (Sugriwa, 1993:9).
Danghyang Nirartha adalah orang suci yang mulia dan istimewa. Beliau memiliki bahu keringat yang harum, tak ubahnya bagaikan minyak mawar. Setiap orang yang duduk berdekatan dengan beliau, turut harum tanpa memakai minyak wangi. Setelah beberapa lama berada di Brambangan terjadilah disarmoni dari Brambangan, hendak menyeberang ke Bali bersama 7 (tujuh) orang putraputrinya beserta istrinya Sri Patni Keniten.
Pada suatu hari menyebranglah Sang Pendeta bersama sanak istrinya mengarungi laut selat Bali (Segara Rupek) dengan mempergunakan buwah labu pahit (waluh pahit) bekas kele kepunyaan orang Desa Mejaya. Sementara itu istri dan putra-putrinya diseberangkan dengan mempergunakan perahu (jukung) bocor yang disumbat dengan daun waluh pahit, kepunyaan orang Desa Mejaya. Atas tuntunan dan petunjuk Ida Sang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, dengan tiupan angin barat yang baik, maka tiada berapa lama penyeberangan Danghyang Nirartha beserta istri dan putra-putrinya dengan mempergunakan peralatan yang sangat sederhana berlangsung dan tiba di pantai Bali barat dengan selamat. Sebab itu beliau Danghyang Nirartha di tengah lautan berjanji “tidak akan pernah mengganggu hidupnya waluh pahit seumur hidupnya sampai pada
turunan-turunannya”.
Dalam penyeberangannya Danghyang Nirartha sampai lebih awal di pantai barat pulau Bali. Sementara menunggu kedatangan istri dan putra-putrinya, beliau sempat mengembalakan sapi bersama para pengembala sapi yang ada di sana. Lambat laun di tempat ini didirikanlah Pura Kecil yang diberi nama Purancak. Setelah kedatangan istri dan putra-putrinya atas petunjuk dari pengembala sapi, Danghyang Nirartha beserta rombongan melanjutkan perjalanannya menuju arah timur. Selama dalam perjalanan dengan menelusuri hutan belantara, berbagai macam rintangan dan hambatan dilalui oleh beliau dengan selamat. memuja Bhatari (Dewi) Melanting. Wilayah ini sekarang dikenal dengan nama Pulaki (Mpulaki/Dalem Melanting).
Dari wilayah Pulaki, Danghyang Nirartha beserta rombongannya melanjutkan perjalanannya ke arah timur dan akhirnya sampailah di Desa Gading Wangi. Pada saat itu penduduk Desa Gading Wangi sedang tertimpa wabah penyakit yang sangatmembahayakan jiwanya. Atas permohonan Kepala Desa (Bendesa) Gading Wangi dan rasa belas kasihan serta kesaktian beliau (Danghyang Nirartha) berkenan mengobati masyarakat yang tertimpa penyakit hingga sembuh total. Atas mujizat kesembuhan yang dimilikinya, maka sejak itu beliau diberi gelar Pendeta Sakti yang baru datang (Pedanda Sakti Bawu Rawuh), yang pandai bahasa Kawi (jawa kuno) raja pendeta guru agama (Danghyang Dwijendra).
Setelah beberapa lama Danghyang Dwijendra berasrama di Desa Wani Tegeh, Pangeran Desa Mas berasrat untuk memohon kedatangan beliau ke Desa Mas. Kedatangan Danghyang Dwijendra ke Desa Mas diketahui oleh Ki Bendesa Mundeh, di tengah perjalanan sampai di Desa Mundeh berasrat memohon berguru kepada Danghyang Dwijendra, dengan belas kasihan beliau, maka Ki Bendesa Mundeh dianugrahi debu tapak kaki beliau ketika berdiri di tengah jalan saat itu. Di tempat itu lambat laun dibangun tempat suci bernama Pura Resi atau Pura Gria Kawitan Resi sebagai tempat pemujaan Danghyang Dwijendra (Sugriwa, 1993:16).
Sangat panjang perjalanan beliau Danghyang Dwijendra dalam pengabdiannya menegakkan dharma. Dari Jawa (Majapahit/Wilwatikta) menuju arah timur melalui Daha, Pasuruan, dan Brambangan (Banyuwangi). Dari Banyuwangi beliau menyebrang ke Bali dengan peralatan seadanya dan sampailah di Pulaki. Dari Pulaki beliau melanjutkan perjalanan menuju ke; Desa Gading Wangi, Desa Mundeh (Pura Resi), Manga Puri (Mangui), Desa Kapal (Pura Sada), Desa Tuban, Desa Buagan (Pura Batan Nyuh), Puri Arya Tegeh Kuri (Badung), Desa Mas, Puri Gelgel (Ki Gusti Panyarikan Dawuh Baleagung sebagai utusan raja), Teluk Padang (Pura Silayukti) Padangbai.
Setelah lama berasrama di Gelgel, seijin “Dalem” beliau melanjutkan perjalanan untuk menjelajah Nusa Bali. Di mulai dari Jembrana (Pura Rambut Siwi), ke Tabanan (Pura Pakendungan dan atau Pura Tanah Lot), di Badung (Pura Hulu Watu, Pura Bukit Gong, Pura Bukit Payung, Pura Sakenan {di Serangan}), di Gianyar (Pura Air Jeruk {Sukawati}, Pura Tugu {Desa Tegal Tugu}, Genta Samprangan {Desa Samprangan}, Pura Tengkulak {di Desa Syut Tulikup}), di Klungkung (Pura Batu Klotok, Pura Gowa Lawah {Desa Kusamba}), di Buleleng, Bali Utara (Pura Pojok Batu).
Dari Pura Pojok Batu (Buleleng), beliau berasrat untuk datang ke Lombok. Selama di Lombok beliau (Danghyang Dwijendra) diberi gelar Tuan Semeru. Di Lombok (Pura Suranadi {Lombok Barat}, Labuhan Aji {tempat pertemuan Seri Aji Selaparang – Tuan Semeru di Lombok Timur}).
Setelah Danghyang Dwijendra (Tuan Semeru) melintasi Lombok, beliau melanjutkan perjalanan menuju ke Sumbawa, untuk bertemu dengan saudaranya. Namun demikian sesuai informasi yang disampaikan oleh penduduk sekitarnya bahwa “saodara beliau sudah tiada” dan sementara itu beliau tetap melanjutkan perjalanan menuju ke (‘Gunung Tambora’, Denden Sari {gadis kecil yang mendapatkan penyembuhan dari Tuan Semeru}) konon setelah di Bali dikawinkan dengan cucu beliau bernama Ida Ketut Buruan Manuaba (Sugriwa, 1993:8-50).
Demikian perjalanan panjang Danghyang Dwijendra berawal dari Jawa (Bali – Lombok – Sumbawa) dan kembali di Bali menuju Asrama Mas, dan sekembalinya ke Gelgel diiringkan (diantar) oleh Pangeran Dawuh menjadikan Dalem sangat gembira. Selama perjalanan beliau Danghyang Dwijendra banyakmengasilkan karya sastra (Buah Tangan Guru) yang sangat bermanpaat bagi umat sedharma. Sebelum Danghyang Dwijendra meninggalkan dunia maya ini, beliau bermaksud menyucikan (mediksa) putra-putranya dan membagikan artha warisannya yang disaksikan oleh Dalem Baturenggong. Setelah prosesi itu selesai, Danghyang Dwijendra melanjutkan perjalanan untuk menuju alam sunya. Sampailah beliau pada penghulu sawah antara Desa Sumampan dengan Tengkulak, disana beliau disuguhi ajengan (makanan) dan lambat laun tempat itu di sebut dengan nama Pura Pangajengan. Dari tempat ini beliau melanjutkan perjalanan dan sampailah di Desa Rangkung sebelah barat yakni pelabuhan Masceti, yang lambat laun tempat ini disebut dengan nama Pura Masceti. Selama Danghyang Dwijendra bercakap-cakap dengan bhatara Masceti di pantai laut Kerobokan. Di sekitan tempat ini pecanangan (tempat sirih dan perlengkapannya) beliau tersimpan dan dijaga oleh “Bhuto Hijo” yang lambat laun berdirilah di
tempat ini Pura Peti Tenget (di tegal peti tenget).
Melalui tegal peti tenget Danghyang Dwijendra melanjutkan perjalannya ke Pura Hulu Watu. Pada suatu hari Selasa Kliwon Wuku Medangsia Danghyang Nirartha (Danghyang Dwijendra) menerima wahyu sabda Tuhan bahwa beliau pada hari itu dipanggil untuk pulang ke sorga. Merasa bahagia suci hatinya karena saat yang dinanti-nantikan telah datang. Hanya ada sebuah pustaka belum dapat diserahkan kepada salah seorang putranya. Tiba-tiba Mpu Danghyang melihat seorang bendega (Nelayan) bernama Ki Pasek Nambangan sedang mendayung jukungnya di laut di bawah ujung Hulu Watu itu, lalu dipanggil oleh beliau. Setelah bendega itu menghadap lalu Danghyang berkata:
“Hai bendega, engkau aku suruh menyampaikan kepada anakku empu Mas di Desa Mas, katakan kepada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka mereka di sini yang berisi ajaran kesaktian”.
Jawab Ki Bendega:
“Singgih pakulun sang sinuhun”, lalu mohon diri setelah menyembah. Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Danghyang Nirartha mulai melakukan Yoga semashinya, bersiap untuk meninggalkan dunia ini. Beberapa saat kemudian beliau Moksha ngeluhur, cepat bagaikan kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek Nambangan memperhatikan juga hal beliau dari tempat yang agak jauh, namun ia tidak melihat Empu Danghyang, hanya cahaya yang cemerlang dilihat ke angkasa (Sugriwa:1993:61).
Tentang perjalanan Danghyang Dwijendra dalam kekawin Usana Bali, ada dijelaskan sebagai berikut:
.... Kunang pwa sira Danghyang Nirartha, viYoga pwa sira sakeng Wilatikta, angalih maring Pasuruwan. Wus lama sirengkana angalap pwa sira putri Pasuruwan, dê Danghyang Panawasikan, riwêkasan hana wijanira lakilaki pêtang wiji, teher inaranan Ida Kulwan, Ida Wetan, Ida Ler, Ida Lor. Wus lami pwa sirengkana, riwêkasan kinon pwa sira dê Sri Juru angalih maring Brangbangan, dera sinung putri sadhaya, tinarima pwa sira Danghyang Nirartha, hana vijanira tigang viji, têhêr inaranan Ida Têlaga, Ida Kinetên, Ni Dayu Swabhawa (Kusuma, I Nyoman Weda. 2005:58).
..... Adava yan katakna, kumênêp wong ing jêro Brangbangan, dadya ta kesah pwa sira Danghyang Nirartha sakeng Brangbangan, mahawan pwa siradening waluh kele wohing maja ya, ikang hastapada pinaka dayung kamodi. Kunang swami nira katêkeng putra sadhaya, wiwat dening banyaga alayar jukung beser, sira tunggal wiwat dening waluh kele. Marmene tan wênang sang Dwija anginum dening tabu tikta, apan awanira angalih Bali ring dhangu. Kunang sadateng pwa sireng Bahyaga tumedun sireng pelabuhan Purancak.
..... Enengakêna pwa lampah irengkana, wus kalumbrah ring Gelgel, yanana Sang Pandita sakeng Yawadwipa mahasiddhi, sakti ring Yoga sira, karêngo dê Sri Maharaja Wisnu Atmaka ring Gelgel, atehêr pwa sira aputusan Kyayi Panulisan Bali rajya, angaturakên sira Danghyang Nirartha (Kusuma, I Nyoman Weda. 2005:59).
Terjemahannya:
..... Selanjutnya Danghyang Nirartha pindah/pergi dari Majapahit menuju Pasuruan. Beliau agak lama menetap di sana dan kemudian kawin dengan putri Pasuruan yakni anak Danghyang Panawasikan. Dan perkawinannya itu beliau memperoleh empat orang putra laki-laki yang diberi nama Ida Kulwan, Ida Wetan, Ida Ler dan Ida Lor. Setelah beberapa lama beliau berada di sana (Pasuruan) akhirnya Danghyang Nirartha disuruh oleh Sri Juru pergi menuju Brangbangan (Blambangan). Oleh Sri Juru, Danghyang Nirartha diberikan seorang putri untuk dikawini. Dari perkawinan tersebut beliau memperoleh tiga orang putra, yang diberi nama Ida Telaga, Ida Keniten dan Ni Dayu Swabhawa.
..... Panjang kalau diceritrakan, akhirnya Danghyang Nirartha pindah dari Brangbangan mempergunakan (berkendaraan) Waluh Kele, tangan dan kaki digunakan sebagai dayung dan kemudi. Istri beserta putra-putranya diangkut oleh nelayan dengan menggunakan jukung (perahu kecil) yangbocor. Danghyang Nirartha sendirian menaiki Waluh Kele. Itulah sebabnya sang pendeta tidak boleh menyantap Waluh Kele (Labu Pahit), karena dahulu merupakan kendaraan Danghyang Nirartha menuju Bali. Adapun kedatangan beliau bersama putra-putrinya di Bali mendarat di pelabuhan Purancak.
..... Sampai di sana diceritrakan dahulu, keberadaan beliau di pulau Bali, akhirnya didengar di kerajaan Gelgel. Beliau terkenal sangat sakti dalam melaksanakan Yoga. Akhirnya Sri Maharaja Wisnu Atmaka di Gelgel, mengutus Raja Kyayi Panulisan Bali untuk memohon kesediaan Danghyang Nirartha
tinggal di Gelgel.
Demikianlah akhir riwayat hidup Danghyang Dwijendra. Kahyangan
tempat beliau ngaluhur (Moksha) kemudian disebut lengkapnya bernama Pura Luhur Huluwatu.
yad-yad vibhùtimat sattvaý
úrimad ùrjitam eva và,
tat-tad evàvagaccha tvam
mama tejo-‘ýsa-úaýbhavam.
Terjemahan:
Apapun yang memiliki kemuliaan, kemakmuran dan kekuasaan; ketahuilah
bahwa semuanya itu, ini berasal dari sepercik kecemerlangan-Ku, (Bhagawadgita X.41).

Demikianlah beberapa contoh orang suci yang telah mencapai jiwa mukti dalam perjalanan hidupnya yang patut di contoh oleh kalangan masyarakat biasa yang masih sangat terikat akan duniawi. Hendaklah di antara mereka dapat saling mengisi, mengasihi, sehingga kehidupan ini berlangsung dengan damai, tenteram, harmonis saling mengasihi dan menyayangi satu dengan yang lainnya.


















BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1  Kesimpulan
Moksa berasal dari bahasa Sanskerta. Moksa dari akar kata muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. Jadi Moksa adalah kepercayaan tentang adanya kebebasan yaitu bersatunya antara atman dengan brahman.  Sebenarnya banyak sekali jalan atau cara yang bisa ditempuh untuk mencapai moksa, hanya bagaimana niat kita untuk bisa melakukannya. Seperti Secara lebih rinci sesuai uraian di atas tentang keberadaan tingkatan-tingkatan moksa yaitu Jiwamukti , Widehamukti dan Purnamukti. Moksa dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa macam tingkatan. Moksa dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu: Samipya, Sarupya (Sadarmya), Salokya, dan Sayujya.
Di dalam ajaran Agama Hindu terdapat berbagai macam tujuan dan jalan yang dapat dilalui untuk mencapai kesempurnaan “Moksa”, dengan menghubungkan diri dan memusatkan pikiran kepada Ida Hyang Widhi Wasa. Dengan tujuan yang ada pada Catur Purusartha seperti Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Cara atau jalan yang demikian itu telah terbiasa disebut dengan nama “Catur Marga Yoga”, terdiri dari: Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga dan Raja Marga Yoga. Pengikut Raja Marga Yoga berkewajiban untuk mengimplementasikan Astangga Yoga guna mewujudkan tujuannya. Mereka dapat menghubungkan diri dengan kekuatan rohaninya melalui Astanga Yoga. Tidaklah mudah untuk mencapai moksa, pasti banyak adanya tantangan hambatan dunia nyata. Maka kita harus berupaya untuk menanggulangi hambatan tersebut untuk selalu jalan dijalan yang benar sesuai dengan perintahNya.

3.2  Saran
Sudah banyak materi yang memberikan pengetahuan apa itu moksa. Kita sebagai siswa diajarkan bagaimana bisa mencapai kebahagiaan yang abadi itu dengan berbagai jalan. Semakin dini kita mepelajari apa itu moksa, jadi kita akan semakin mudah untuk bisa mencapainya. Jadi saran dari makalah ini, kita harus banyak belajar dan memperdalam dari ajaran moksa.





DAFTAR PUSTAKA

Oka Punyatmadja Ida Bagus. 1970. Panca Sradha. Denpasar: Parisada Hindu Dharma
Gunada, IB. 2013. Panca Sraddha. Denpasar : Widya Dharma Denpasar.
Buku Agama Hindu Dan Budi Pekerti Siswa.2013.Moksa.Jakarta : Institut Hindu Dharma
Wayan Bima (2010). Moksa kaitannya dengan Catur Marga Yoga. (Online). Tersedia : http://poorwords.blogspot.com/2010/01/moksa-kaitannya-dengan-catur-marga-yoga.html
Aku Beragama (2014). Jalan untuk mencapai moksa-makalah. (Online). Tersedia : http://akuberagama.blogspot.com/2014/01/jalan-untuk-mencapai-moksa-makalah.html
Putu Dharmayasa (2013). Tingkatan Moksa. (Online). Tersedia : http://putu-dharmayasa.blogspot.com/2013/08/tingkatan-moksa_27.html

Comments

Popular posts from this blog

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN RESTAURANT

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN MAN MARU JAPANESE RESTAURANT FOOD AND BEVERAGE SERVICE DEPARTMENT Royal Bali Hotel and cruise ship training centre Jl. Pasekan 90X Batuyang kangin, Gianyar www.hospitality.royalbalitraining.id DISUSUN OLEH : Nama                      : Ni Putu Ayu Ratih Pratiwi NIM                        : 2016.07.2.FB/3.04 Angkatan                : III/2016 - 2017 Jenjang                   : Okupasi Waitress Level III / Basic Level                  ...

artikel : PEMBUATAN KRIPIK BAYAM

  LAPORAN PEMBUATAN KRIPIK BAYAM   KATA PENGANTAR Puji syukut kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga laporan ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang yang telah berkontribusi den ga n memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.   Dan harapan kami semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi laporan agar menjadi lebih baik lagi.   Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih banyak kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan ini.     BAB 1 PENDAHULUAN   1.1 LATAR BELAKANG Keripik merupakan makanan ringan atau camilan berupa irisan tipis yang sangat populer di kalangan masyarakat karena sifatnya yang renyah, gu...